Siwasiddhanta (Kristalisasi Sivasddhanta dalam Banten Pejati)

KRISTALISASI SIVASIDDHANTA  DALAM BANTEN PEJATI
Pendahuluan
Agama hindu merupakan sebuah agama yang dalam kehidupan beragama berdasarkan atas pelaksanaan ritualitas yajna.  Dalam pelaksanaan yajna sebagian besar umat hindu menggunakan sarana upacara, hal ini dikarenakan tingkat jnana yang masih rendah oleh karenanya  oleh karenannya dibutuhkam sebuah sarana untuk mempermudah berkomunikasi dengan Ida sang Hyang Widhi Wasa. Dengan demikian dapat diwujudkan Tuhan yang bersifat transeden menjadi imanen. Beranjak dari hal itu, apapun jenis dan alasan dari aktivitas manusia selalu membutuhkan media, sebab media itu merupakan sebuah symbol, terlebih – lebih kedudukan manusia secara antromorpos adalah sebagai mahkluk homo sombolikum. Banten adalah salah satu sarana umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
            Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.
       Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana
Artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya.
Dalam “Lontar Tegesing Sarwa Banten”, dinyatakan:
Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang
Artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
            Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.
Pembahasan
1.      Canang Sari
Canang berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti sirih yang berguna untuk menjamu tamu yang dihormati. Tradisi makan sirih adalah tradisi yang sangat dihormati. Dalam kekawin Nitisastra disebutkan “masepi tikang waktra tan amucang wang “ yang artinya sepi rasanya mulut kita tanpa makan sirih (Wiana, 1992 :26). Sirih inilah yang kemudian disebut canang sebagai lambang pernghormatan. Ternyata tradisi inipun juga menjadi kegemaran sebagian masyarakat golongan orang tua.
Canang atau sirih dalam tradisi Hindu di Bali menjadi unsure terpenting atau dengan kata lain sirih adalah inti setiap canang itu sendiri. Sirih itu dalam canang berbentuk porosan Betapapun indahnya canang kalau ia belum dilengkapi porosan yang bahan pokoknya dari sirih belumlah canang itu disebut canang yang bernilai keagamaan. Porosan itu terdiri dari selembar atau lebih daun sirih diisi sekerat pinang dan sedikit kapur lalu dibungkus berbentuk segitiga. Porosan merupakan lambang Tri Murti. Pinang lambang dewa Brahma, sirih lambang dari Dewa Visnu dan kapu adalah lambang dari dewa Siwa (Wiana, 1992 : 27; 2004 :15).
Tujuan menggunakan canang dalam pemujaan Hindu adalah untuk mendapatkan tuntunan dari Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti. Canang juga berarti symbol perjuangan hidup manusia yang dilandasi oleh pikiran yang suci dengan selalu memohon bantuan kepada Tuhan ( Sumardana dalam Mata Kuliah Acara Agama Hindu 1). Dalam canang itu terdapat symbol – symbol yang menggambarkan sikap yang semestinya diwujudkan untuk mencapai karunia Tri Murti. Mengapa Tuhan dipuja dalam tiga manifestasi ? karena tiga manifestasi ini lah yang amat terkait dengan kehidupan umat sehari – hari. Manusia dalam upaya meningkatkan kualitas hidup membutuhkan tiga hal pokok yaitu pertama tercipta tumbuhnya segala sesuatu, baik fisik material maupun mental spiritual. Kedua, segala sesuatu yang tercipta dipelihara dengan baik dan juga dan unutuk menunjang cita – cita. Ketiga, manusia menuju cita – citanya mengharapkam dapat mengatasi dan sebisa mungkin meniadakan sesuatu yang menghambat mencapai cita – citanya. Dari ketiga proses itulah manusia memuja Tuhan dalam tiga fungsinya (Wiana, 1992 :27). Selain itu, ini juga merupakan bentuk penyatuan sekte – sekte di Bali yang pernah berkembang, yang dipersonifikasikan dalam bentuk upakara yaitu canang.
            Sebelum lanjut ke unsure – unsure canang, hal yang menjadi dasar dari unsure – unsure yang terdapat dalam canang hal ini dapat ditinjau dari kitab suci Bhagavadgita Bab IX sloka 26, adapun bunyi slokanya adalah :
            Pattram puspam phalam puspam phalam toyam
Yome bhaktya prayaccati
Tad aham bhaktyu pakrtam
Asnam prayatat manah
Artinya
            Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan padaKu daun, bunga, buah – buahan atau air, persembahan yang didasari cinta dan keluar dari lubuk hati yang suci, Aku terima.
            Beranjak dari sastra tersebut adapun unsure – unsure pokok dalam canang adalah sebagai berikut :
  1. Ceper yang berbetuk segiempat merupakan simbol lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga-sarira (badan wadag) ini. 
  2. Beras/Wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma. Beras adalah symbol dari sumber kehidupan ( Surayin, 2004 : 59)
  3. Plawa, daun merupakan symbol tumbuhnya pikiran yang suci dan
hening dalam beryajna memuja Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti, seperti yang dijelaskan dalam lontar Yajna Prakerti. Hal inilah yang berfungsi untuk menangkal pengaruh – pengaruh buruk dari nafsu duniawi.
  1. Porosan, memiliki makna untuk memohon tuntunan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Tri Murti, agar dapat menciptakan, memelihara dan meniadakan yang patutnya diciptakan, dipelihara dan ditiadakan untuk mendapatkan hidup yang layak dan semakin baik. Porosan terdiri dari Sirih menggambarkan Hyang Wisnu, Kapur menggambarkan Hyang Siwa, Buah Pinang menggambarkan Hyang Brahma (Surayin, 2004: 59-60).
  2. Tebu dan pisang,
di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang. Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang/nyasa amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya. 
  1. Bunga, arti bunga dalam lontar yajna prakerti disebutkan bahwa sekare pinaka katulusan picayune suci artinya bunga itu lambang ketulusiklasan pikiran yang suci (Wiana, 1992 :24 ; Surayin, 2004 :59). Bunga yang digunakan bukan sembarang bunga, bunga itu harus segar, jauh dari hama, atau bunga yang berkas digigit ulat atau isi tai lalat, bukan bunga yang jatuh sendirinya dari tangkai ataupun juga bunga lungsuran.
  2. Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan. 
  3. Tetuwesan, dalam lontar yajna praketi disebutkan bahwa reringitan dan tetuwesan mangda lambang kelanggengan meyajna (Wiana, 2004 : 16). Di zaman modern ini banyak sekali hal – hal yang dapat menghalangi suatu cita – cita atau konsep hidup yang telah terencanakan sebelumna namun kadang kita goyah dan terkadang melupakan maksud dari cita – cita itu, kita larut dalam arus eglo (era globalisasi) yang semakin menikan. Untuk itu, makna tetuwesan ini mengajarkan kita agar focus terhadap prinsip hidup untuk mencapai kebahagiaan.
  4. Urrassari, unsure yang kelima adalah Urrassari yang terletak dalam canang yang ada diatas plawa, porosan, tebu kekiping, pisang, dll yang beralaskan ceper. Bentuk dari urrassari ini adalah garis silang dan meyerupai tapak dara yaitu bentuk sederhana dari swastika. Swastika adalah lambang keseimbangan. Urrassari tersusun atas jejahitan, reringgitan dan tetuwesan yang berbentuk lingkaran Padma Astadala. Padma Astadala adalah lamabang stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan delapan penjuru mata anginnya (Wiana, 1992 : 20-30). Jadi, urrassari adalah symbol permohonan kepada Tuhan semoga alam lingkaran hidup ini selaras dan seimbang.
Adapun makna filosofi yang terdapat dalam konsep pembuatan canang. Pertama ceper jika diibaratkan adalah stula sarira atau badan kasar di dalam badan kasar ini terdapat dua badan penyebab adanya kehidupan yakni atma yang disimbolkan beras. Di dalam atma itulah terkandung sifat – sifat daiwi sampad yang dilambangkan dengan porosan yakni yang dibalut oleh kekuatan dari dewa Brahma, Visnu dan Siwa. Kemudian ketika badan ini telah dijiwai maka manusia itu hidup, manusia hidup tentu berpikir, pikiran inilah yang disimbolkan sebagai plawa. Dari berpikir manusia ini menemukan hakikat hidup yakni mencari Tuhan dari luar diri dan beranjak kedalam diri. Dalam proses mencari Tuhan harus dilandasi Dharma, artha, kama hingga pada akhirnya benar – benar menemukan Tuhan. Nah, artha inilah yang disimbolkan dengan pisang dan tebu. Mencari Tuhan di butuhkan ketekunan yang berulang – ulang disimbolkan dengan tetuwesan, yang dilandaskan oleh ketulusiklasan yang disimbolkan dengan bunga. Awalnya manusia akan mencari Tuhan diluar dirinya sehingga mengangap bahwa semua ciptaan Tuhan adalah Tuhan itu sendiri. Sehingga manusia tersebut harus menghormati mahkluk alam bawah, sesama mahkluk dan Tuhan itu sendiri yang diwujudkan sebagai sebuah yajna. Hubungan itu dilambangkan dengan tanda silang, manusia harus harmonis kebawah, kesamping dan keatas. Agar seimbang hubungan tersebut harus saling mempengaruhi kemudian berkembanglah dari tanda silang tadi menjadi Swastika. Swastika ini dilambangkan dengan urrassari. Hingga pada akhirnya semua mahkluk akan kembali kepadaNya yang dilambangkan dengan posisi bunga rampai pada canang tersebut.
            Jadi, penyatuan Siva siddhanta jika ditinjau dari unsur – unsur canang. Beras merupakan pengaruh dari sekte Waisnawa dilihat dari petunjuk pemujaan terhadap Dewi Sri. Warna – warni bunga atau macam – macam bunga menandakan Dewata Nawa Sangga sehingga posisi bunga rampai yang ada ditengah menyimbulkan Dewa Siwa. Jika disimak kembali, macam – macam bunga ini ibarat sekte – sekte yang pernah berkembang di Bali yang mewakili 8 sekte dan bunga rampai adalah wakil dari sekte Siwa Siddhanta. Artinya, ke-8 sekte tersebut kemudian ditarik ke dalam sekte Siwa Siddhanta. Dari penyatuan inilah kemudian Agama Hindu di Bali memiliki tiga Dewa tertinggi yakni Brahwa, Visnu dan Siwa yang terdapat dalam porosan. Sehingga ketiga dewa tersebut menjadi pusat atau inti pemujaan di Bali.(lihat gambar canang). Adapun mantra untuk mempersembahkan canang sari, sebagai berikut :
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah svaha
2.        Daksina
Daksina berasal dari kata Sansekerta. Daksina bisa berarti upah, daksina juga bisa bermakna selatan dan nama sebuah banten. Daksina adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah dari pada Yadnya. Hal ini dapat dilihat pada berbagai upacara yang besar, di mana banyak menggunakan ada daksina. Kalau dilihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima kasih" kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nya.
Tempat untuk daksina disebut bedogan atau clekontong. Pada dasar daksina diisi tetampak dari janur sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras sejumput. Di atas beras diletakkan sebutir kelapa yang telah dikupas halus tempurungnya, dihilangkan sabutnya. Unsur – unsur banten daksina, sebagai berikut :
1.      Wewakukan  atau bebedogan.
Adalah yang terbuat dari janur hijau. Wewakulan ini adalah lambang dari pertiwi. Di dalam wewakulan diberi lapisan berbentuk serobong dari janur pula sebagai Aksa. Dalam wewakulan Daksina inilah seluruh isi Daksina dimasukkan.
2.      Beras, setelah itu masukkan beras ke dalam wakul. Beras merupakan lambang nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma. Beras adalah symbol dari sumber kehidupan
3.      Tampak
diatas beras diisi tampak yang merupakan jaritan janur berbentuk segi empat sebagai lambang delapan arah mata angin, juga sebagai lambang cakra yang juga sebagai pergerakan alam semesta diikuti oleh hukum alam.
4.      Buah kelapa
kemudian masukkan buah kelapa yang sudah dibersihkan bagian utama dari Daksina sebagai lambang bhuana agung. Kelapa yang dikupas dan dibersihkan serabutnya sebagai simbol pembebasan Bhuana Agung dari ikatan segala indria sehingga menjadi suci.
5.      Benang tukelan putih diatas kelapa.
benang adalah simbol dari hubungan antara Atma, JIwatma, dan Paramatma Yang menyatu dalam proses Utpeti, Stiti, Pralina
Setelah itu dimasukkan bahan-bahannya yaitu gegantusan, bija ratus, pangi yang diletakkan diatas kekojong, pepesel yang diletakkkan diatas kekojong, basen daksina yang diletakkkan diatas kekojong, telur itik yang masih mentah dan sepotong pisang kayu
6.      Gegantusan
Adalah kojong atau bungkusan dari daun pisang yang berisi ikan teri, garam, dan bumbu-bumbuan yang merupakan hasil dari darat dan laut. Adapula gegantusan yang berisi beras putih, beras merah, injin, sebagai simbol Brahma, Visnu, Iswara.
7.      Pisang, pangi, bija ratus dan tingkih
  Yang dialasi dengan kojong dalah simbol dari manusia. Pisang sebagai tulang, tingkih sebagai paru, pangi sebagai hiti, dan bija ratus sebagai isi jroan. Bija ratus ini terbuat dari, biji-bijian seperti godem, jagung, dan biji jali.
8.      Peselan
Adalah gabungan 5 jenis daun yang bisa mewakili 5 jenis warna yaitu: warna putih, merah, kuning, hitam, dan hijau atau biru. Kelima warna daun ini digunakan biasanya jenis plwa atau bisa juga daun mangis, croring, salak, mangga, dan durian.  Penggunaan peselan ini bertujuan sebagai pengharapan agar Panca Dewata hadir dan malinggih di Daksina sebagai saksi dan menganugrahkan kerahayuan.
9.      Porosan
Adalah simbol dari Tri Murti, dimana buah pinang simbol Brahma,  daun sirih simbol Visnu, dan kapur simbol Siva.
10.  Uang sebagai pamirak (penebus kekurangan) (Sanjaya, 2010.59-61)
11.  Sebutir telur
Adalah lambang Bhuana Alit. Telur itik dipilih karena itik adalah binatang yang  dipandang sebagai simbol Sattwam,  karena itik bila mencari makanna meski dalam lumpur sekalipun ia dapat memilih makanan. Dan telur ititk juga mengandung makna penanaman benih-benih sifat Sattwam dalam Bhuana Alit yang tidak lain adalh diri manusia. Sehingga bentuknya seperti di bawah ini!
 
Selanjutnya kita beralih pada enjokan daksina : langkah pertama ambil daun plawa yang diletakkkan diatas enjokan tadi, ambil daun sirih dan diisi kapur sirih serta buah pinang secukupnya, kemudian daun sirih tadi dilipat dan diatasnya diisi bunga secukupnya serta diatasnya bunga tersebut diisi wadah lengis sehingga bentuknya akan terlihat seperti gambar dibawah.
Langkah berikutnya : ambil tegtegan daksina, salah satu bagiannya diisi porosan dan bunga secukupnya. Pada bagian berikutnya diisi beras dan sedikit benang bali serta bagia terakhir diberi uang kepeng sehingga tegtegan daksina menjadi seperti ini, disamping kiri, dan daksina siap digunakan seperti gambar sebelah kanan.
             
Dari bahan – bahan yang dipergunakan diatas, yang masing-masing memilki makna tersendiri. Wewakulan ini adalah lamang dari pertiwi. Tampak berbentuk segi empat sebagai lambang delapan arah mata angin, kelapa lambang bhuana agung, telur lambang Bhuana Alit, Peselan lambang Panca Dewata, Porosan lambang dari Tri Murti, Gegantusan Brahma, Visnu, Iswara, Benang tukelan putih diatas kelapa simbol Tri kona.  Beras merupakan pengaruh dari sekte Waisnawa, uang bolong adalah salah satu ciri pengaruh peradaban agama Buddha di Bali sehingga uang bolong merupakan pengaruh dari sekte Boddha. Awalnya bahan – bahan yang belum menjadi satu padu membentuk daksina, umpamakan saja itu adalah 9 sekte yang berkembang dan memuja salah satu nama Tuhan sebagai Istadewatanya. Wakul yang menjadi wakil dari sekte Sivasiddhanya sebagai wadah semua bahan – bahan lain dari daksina tersebut. Dalam artian,wakul yang berbentuk bundar lebih dominan secara bentuk menjadi wadah semua bahan – bahan lainnya. Begitu pula halnya, sekte – sekte yang lain luluh menjadi satu padu kedalam wadah yang bernama Sivasiddhanta. Adapun mantra untuk menghaturkan daksina, sebagai berikut :
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam
Oṁ namaste bhagavan Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam.
Oṁ Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute
Oṁ Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta Siddhantam.
Oṁ Jayarte Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya namah svaha
3.        Peras
Banten Peras ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada "kulit-peras", dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada Lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.
Kiranya kata "Peras" dapat diartikan "sah" atau resmi, seperti kata: "meras anak" mengesahkan anak, "Banten pemerasan", yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya "tan perasida", yang dapat diartikan "tidak sah", oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha).
Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:
1.      Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper; Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga)
2.      kemudian disusun di atasnya Beras (makanan pokok – sifat rajah), Uang Kepeng/recehan (untuk mencari segala kesenangan – sifat tamas), benang (kesucian dan alat pengikat – sifat satwam) merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar.
3.      Dua buah tumpeng (simbol rwa bhineda – baik buruk); lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan.
4.      Base tampel/porosan (poros – pusat) yang merupakan lambang tri murti
5.      Kojong Ragkat, tempat rerasmen/lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani)
6.      Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya – persembahan sebagai hasil kerja kita.
7.      Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma.
8.      Canang sari – inti dari segala yadnya, merupakan simbol dari Ida Sang Hyang Widhi
Dalam setiap akhir persembahan dari Peras ini, dilakukanlah “Natab Peras” dan dengan menarik beberapa bagian dari tiga lembar janur yang dilipat ujungnya saat menjahitnya dengan posisi dijajarkan dan dijahit pada alas banten Peras. Adapun mantra Peras adalah sebagai berikut :
Om Suddha bumi suddha akasa
Om Suddha dewa suddha manusa
Om Siddhir astu tad astu
Om Ksama sampurna ya namah swaha
Om Mili mili maha amrtham
Suksma parama siwa ya namah
Om Ung ung Om Ang Ung Mang.
Om Ekawara, Dwiwara, Triwara
Caturwara, Pancawara
Peras prasiddhanta
Parisudha ya namah swaha, Om.
4.        Sesayut
Menurut Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayut” dapat diartikan mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa sesayut berasal dari kata “sayut” yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam bukunya Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari kata “ayu” yang berarti selamat atau rahayu. Kata “ayu” mendapat pengater Dwi Purwa lalu menjadi Sesayut, kemudian mendapat reduplikasi “t” menjadi sesayut yang artinya menuju kerahayuan.
            Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut merupakan sthna dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit dan sebagainya.
            Kulit sesayut bentuknya sama dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit sesayut terdapat isehan. Ada dua jenis sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan tamas, dan sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu. Sampian sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian plaus yang kedua tangkihnya digabungkan, sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan. Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan potongan jejahitan sebanyak 8 buah. 
            Dalam banten sesayut banyak terdapat jenis yang digunakan dalam upacara, terutama dalam Panca Yadnya. Jenis-jenis sesayut yang digunakan disesuaikan dengan fungsi dan maknanya masing-masing. Adapun yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Sesayut Sidha Karya dan Sesayut Sidha Purna.
Sesayut Sidha Karya
            Seperti yang telah dijelaskan di atas, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya sehingga pelaksanaan yadnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam bukunya Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Raras (2006; 193) memaparkan bahwa Banten Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat melaksanakan upacara Yadnya dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak menemui kegagalan. Banten sesayut Sidha Karya ini digunakan dalam upacara Panca Yadnya ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi menghaturkan banten ini di Sanggah Kemulan atau di Pura Desa. Ada pula yang digunakan pada saat hari kelahirannya atau otonannya.
            Hal senada juga diungkapkan oleh Jro Mangku Anom (Ketut Agus Nova), salah satu mahasiswa IHDN Kampus Singaraja. Beliau memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya memang digunakan dalam Panca Yadnya seperti misalnya Odalan, Ngenteg Linggih, Mlaspas, Ngaben, Topeng Sida Karya dan lain-lain. Di mana ‘Sidha’ berarti puput, dan ‘karya’ berarti yadnya. Apabila banten ini tidak ada dalam suatu upacarra tersebut, maka dikatakan suatu upacara itu belum dikatakan selesai. Jadi, Banten ini dapat dikatakan sebagai pemuput dalam suatu rangkaian upacara yajna.
            Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, dalam bukunya Tataning Tetandingan Banten Sesayut (2006; 3) menyebutkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara Mahesora dimana untuk peletakan banten ini melihat arah mata angin yaitu arah ‘kelod-kangin’ (tenggara). Hal senada juga diungkapkan oleh Putu Bangli dalam bukunya Warnaning Sesayut Lan Caru (2006; 31) juga menyebutkan bahwa banten Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Bhatara Mahesora.
Ini adalah salah satu Cara pembuatan Sesayut Sidha Karya yang terdapat dalam buku Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Niken Tambang Raras (2006; 194).
Alat dan Bahan:
-          Kulit Sesayut
-          Segehan bentuk segi empat
-          Tumpeng kecil
-          4 buah kwangen
-          2 buah tulung berisi nasi
-          Raka-raka (jajan-jajan dan buah-buahan)
-          Daun sirih dan pinang
-          Sampian Sesayut
Cara Menatanya:
            Kulit sesayut diletakkan di atas nampan atau nare, di atasnya diisi segehan segi empat dan ditengah-tengah segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi kwangen 4 buah. Ujung tumpeng ditancapi bunga tunjung. Di sampingnya diisi raka-raka (buah dan jajan) serta dua buah tulung berisi nasi yang dibawahnya dialasi dengan daun sirih dan pinang lalu diatasnya diberi sampian sesayut.
            Dari pemaparan di atas, sesuai dengan bahan pokok dalam sesayut siddhapurna, segehan ini merupakan lambang persembahan kepada alam bawah atau bhutakala boleh jadi ini adalah kristalisasi dari sekte Gonapatya, tumpeng kecil merupakan lambang dari pemujaan terhadap sakti dari Dewa Wisnu yakni Dewi Sri atau dewi kemakmuran sehingga hal ini merupakan kristalisasi dari sekte Waisnawa. Buah pinang juga melambangkan Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan daun sirih merupakan lambang dari Dewa Brahma sebagai pencipta. Sehingga dapat dikatakan dari beberapa makna dalam banten sesayut ini adalah manusia harus memlihara atau menjaga apa yang telah tercipta sehingga kehidupan ini menjadi rahayu (sesuai tujuan banten sesayut). Sekte yang paling dominan mempengaruhi adalah sekte Gonapatya yakni sebagai pelindung manusia agar tidak terganggu oleh kekuatan – kekuatan magis sehingga manusia mencapai kerahayuan.
5.        Ajuman
banten ajuman Stock Photo - 2764691Banten Ajuman yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi). Soda/ajuman dipakai sarana untuk memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan/kokoh. Dan disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut "perangkat atau perayun" yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masingdialasi ceper/ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisisebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain. Adapun unsur – unsur dalam banten ajuman, sebagai berikut :
1. Tamas atau Taledan
Tamas atau taledan, tamas lambang cakra (symbol kekosongan yang murni/ananda). Taledan merupakan  lambang catur marga yaitu empat jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. (bhakti marga, karma marga, jnana marga, dan raja marga). Sebagai sarana memuliakan Hyang Widhi (ngajum).
2.  Buah pisang, Jajan, dan Buah-buahan
Merupakan persembahan hasil kerja keras dan rasa syukur kepada Ide Sang Hyang Widhi Wasa, yang telah memberikan anugrahnnya kepada kita semua.  Dan Sebagai sarana memuliakan Hyang Widhi (ngajum).
3. penek (bundar) 2 buah
Nasi penek (nasi yang sedimikian rupa tingginya kurang lebih 5 cm), sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, yang disebut Ajuman putih kuning.
4. Rerasmen/lauk-pauk yang dialasi Tri Kona
Yang berisi berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun,  daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal. Yang merupakan simbol/makan,  dari Bhuana Agung yang diperembahkan. Dan sebagai sarana memuliakan Hyang Widhi (ngajum).
5. Sampyan plaus/petangas/Sampian Soda
Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap.  Dan dapat pula diartikan sampyan itu sebagai keteguhan hati.  http://www.scribd.com/doc/63565118/Banten
6. Canang sari/Canang Genten
Canang sari yaitu inti dari pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit). Dan Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari. http://sanjayafamily.blogspot.com/2010/10/canang-sari.html
6.        Banten Pejati
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9pNWgFQMl9_4woy7Epbt3vuoSYNmOuGW1Lg_7jWoqbF6D3pL583zTC9W3t1UsI1HOQoJEDbzUDbBwkG3ZD4lIh3qovZkvjfXg_Px_hT2-cEeM8qeP5QzGG3orK_mkGnmV5jZ_wSF12dEn/s320/PEJATI.jpgJati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.
Beberapa makna filosfis dalam banten pejati yaitu :
1)      Srembeng / wakul / srobong / katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tuhan
2)      Tampak dara merupakan simbol keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro kosmos
3)      Porosan / base tumpel merupakan lambang dari konsep Tuhan sebagai Brahma (pinang), Wisnu (sirih), Iswara (kapur) dan Mahadewa (plawa)
4)      Kelapa simbol pawitra (air keabadian / amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan sapta loka karena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air di dalamnya.
5)      Kluwek lambang pradhana / prakerti / unsur kebendaan / perempuan
6)      Kemiri lambang purusa / unsur kejiwaan / laki-laki
7)      Papeselan lambang Panca Dewata ; daun duku lambang dari Iswara; daun manggis lambang dari Brahma; daun durian lambang dari Mahadewa; daun salak lambang dari Wisnu dan daun nangka lambang dari Siwa
8)      Bumbu-bumbuan dan kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran
9)      Beras lambang ibu pertiwi (Anantha Boga)
10)  Benang pada daksina lambang naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja
11)  Telor mentah (itik) simbol awal dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari 3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab
12)  Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan
13)  Sampyan payasan / pusung / simbol dari konsep utpati, sthiti dan pralina (tri kona)
14)  Aled peras / kulit peras untuk dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, ucapan benar, pandangan benar dan tujuan benar
15)  Daun plawa: lambang kesejukan
16)  Bunga: lambang cetusan perasaan
17)  Bija : benih-benih kesucian
18)  Ari : lambang pawitra / amertha
19)  Api : saksi dan pendetanya Yajña
20)  Tri kona : upti, sthiti, pralina
21)  Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda)
18. Ceper : catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga)
            Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
1.           Peras kepada Sanghyang Isvara
2.           Daksina kepada Sanghyang Brahma
3.           Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
4.           Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
Ketupat Kelanan Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan:
Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari. Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
 
 
            Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Mengenai rerasmen:
Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”.
Artinya:
Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. 
Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”.
Artinya:
Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan;
Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”.
Artinya:
Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Mengenai Kue/Jajan:
Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”.
Artinya;
Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
Mengenai bahan porosan:
Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”.
Artinya:
Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan
            Dari sekian banyak banten yang telah ada memiliki banyak simbol dan makna filosofis yang sangat kompleks. Banten pejati disusun atas banten daksina, peras, ajuman, penyeneng, pasucian, tipat kelanan dan segehan alit. Dilihat dari berbagai unsur atau bahan yang terdapat dalam banten pejati, daksina kristalisasinya dapat dilihat pada pembahasan diatas dan fungsi dari banten daksina ini adalah banten yang dipergunakan sebagai honorium atau perhormatan seorang pendeta sebagai pemimpin upacara hal ini merupakan pengaruh dari sekte Resi. Menggunakan api sebagai salah satu sarana yang bermakna sebagai saksi dalam upacara ini merupakan miniatur dari pemujaan terhadap Surya Raditya yang diyakini sebagai penerang dari kegelapan yang merupakan pengaruh dari sekte Sora. Dalam banten yang mengunakan lauk pauk seperti ikan, ayam dan lauk pauk lainnya baik dalam banten perasn ajuman merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Tipat kelanan yang terbuat dari beras merupakan pemujaan dari saktinya Dewa Wisnu yakni Dewi Sri hal ini merupakan adanya pengaruh sekte Waisnawa. Segehan alit adalah salah bentuk pemujaan terhadap alam bawah untuk tidak menggangu kehidupan manusia atau dengan kata lain memohon perlindungan ini merupakan bentuk mini adanya pengaruh sekte Gonapatya. Dari berwarna warni unsur – unsur untuk membentuk banten pejati, setiap unsur memiliki makna filosofi yang mendalam tentang kehidupan manusia dan tujuan tertentu. Oleh sebab itu, setiap unsur memiliki warna tersendiri, warna – warna inilah kemudian dikombinasikan sehingga melahirkan warna yang baru. Warna baru ini tidak berdiri sendiri namun disangga oleh warna – warna lainnya. Sehingga warna baru inilah yang nampak dan mewarnai kehidupan manusia di Bali. Warna baru ini disebut Siwasiddhanta
Daftar Pustaka
Anonim. 2006. Tataning Tetandingan Banten Sesayut. Surabaya; Paramitha
Bangli, I Putu. 2006. Warnaning Sesayut lan Caru.  Surabaya; Paramitha
Dunia, I Wayan. 2008. Nama-Nama Sesayut. Surabaya: Paramitha
Raras, Niken Tambang. 2006. Majejahitan dan Metanding. Surabaya; Paramitha
Wiana, Ketut. 2009. Suksmaning Banten. Surabaya; Paramitha
Surayrin, Ida ayu Putu. 2004. Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-upacara Yajna (seri I upakara yajna). Surabaya : Paramita
Wiana, Ketut. 1992. Sembahyang Menurut Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha
Wiana, Ketut. 2004. Mengapa Bali disebut Bali.  Surabaya : Paramita
Wijayananda, Mpu Jaya. 2003. Tetandingan lan Sorohan Banten. Surabaya; Paramitha

Komentar

Postingan populer dari blog ini