Dewa Yadnya

BAB I
PENDAHULUAN
Panca Yadnya adalah lima macam yadnya yang dilakukan oleh umat Hindu yang terdiri dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Dalam pelaksanaan yadnya ini, di samping didasari oleh rasa ketulusan dan keikhlasan juga didukung oleh tata pelaksanaan yang disebut upacara serta sarana yang melengkapi pelaksanaan yadnya yang disebut dengan upakara atau bebanten. Jadi upacara yadnya adalah tata cara atau pelaksanaan suatu yadnya yang dilakukan oleh umat Hindu dengan tulus ikhlas. Sedangkan upakara adalah segala sarana yang dipersembahkan.
Pada dasarnya pelaksanaan yadnya tidak bisa lepas dari Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. Setiap pelaksanaan yadnya, umat Hindu melakukan permohonan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya dan menghaturkan sesajen kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar pelaksanaan yadnya berjalan lancar serta memperoleh waranugraha yang diharapkan. Pelaksanaan yadnya khususnya Dewa Yadnya sudah sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari pelaksanaan secara sederhana sampai dengan tingkatan yang kebih tinggi.
Upacara Dewa Yadnya adalah upacara pemujaan dan persembahan sebagai wujud bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasi-Nya, yang diwujudkan dalam bermacam-macam bentuk upacara. Upacara ini bertujuan untuk mengucapkan terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kasih, rahmat dan karunia-Nya sehingga kehidupan dapat berjalan damai. Upacara Dewa Yadnya umumnya dilaksanakan di Sanggah-sanggah, Pamerajan, Pura, Kayangan dan tempat suci lainnya. Upacara Dewa Yadnya ada yang dilakukan setiap hari dan ada juga yang dilakukan pada hari-hari tertentu. Contoh dari upacara Dewa Yadnya yang dilakukan setiap hari adalah puja tri sandya dan yadnya sesa. Sedangkan upacara Dewa Yadnya yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, Siwaratri, Purnama dan Tilem, dan piodalan lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dewa Yadnya
Dewa Yadnya adalah persembahan yang tulus ikhlas kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala bentuk manifestasi-Nya. Dewa berasal dari kata Div yang artinya sinar atau cahaya suci. Seperti halnya cahaya yang berasal dari matahari, demikianlah para Dewa adalah sumber dari sang pencipta yaitu Sang Hyang Widhi Wasa.
Dewa sebagai manifestasinya Tuhan memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda seperti misalnya Dewa Wisnu, Dewa Brahma, Dewa Iswara dan yang lainnya memiliki kekuasaan yang berbeda, tetapi para Dewa tetap bersumber dari Tuhan. Dengan demikian pemujaan dan persembahan yang ditujukan kepada para Dewa pada dasarnya adalah ditujukan kepada Tuhan.
2.2 Makna dan Tujuan Pelaksanaan Dewa Yadnya
Pelaksanaan Dewa Yadnya adalah karena adanya hutang kepada Sang Hyang Widhi Wasa yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya termasuk di dalamnya adalah manusia. Manusia bisa memanfaatkan isi alam ini dengan semuanya bersumber dan diciptakan oleh Tuhan. Hutang ini disebut dengan Dewa Rna. Atas dasar itu umat Hindu sewajibnya berbhakti kepada Sang Hyang Widhi dengan melaksanakan persembahan dalam bentuk Dewa Yadnya.
Pelaksanaan Dewa Yadnya dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Aktivitas kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan menjadi Yadnya dengan cara melaksanakan semua aktivitas yang didasari oleh kesadaran, keikhlasan, penuh tanggung jawab dan menjadikan aktivitas tersebut sebagai persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagaimana sabda Tuhan melalui Bhagawad Gita dalam sloka seperti :
Yajòàathàt karmano ‘nyatra loko ‘yaý karma-bandhanah,
Tad-artham karma kaunteya mukta-saògaá samàcara (Bhagawad Gita, III.9)
Artinya:
Kecuali kerja yang dilakukan sebagai dan untuk tujuan pengorbanan, dunia ini terbelenggu oleh kegiatan kerja. Oleh karena itu, wahai putra Kunti (Arjuna), lakukanlah kegiatanmu sebagai pengorbanan dan jangan terikat dengan hasilnya.

Pelaksanaan Dewa Yadnya memiliki tujuan antara lain :
  1. Untuk menyatakan rasa terima kasih kepada Tuhan.
  2. Sebagai ungkapan rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
  3. Sebagai jalan untuk memohon perlindungan dan waranugraha serta permohonan pengampunan atas segala dosa.
  4. Sebagai pengejawantahan ajaran Weda.
Pada dasarnya Yadnya itu bertujuan untuk membayar hutang (Rna) yaitu hutang budi dan hutang kepada Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa). Karena berkat Yadnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, alam semesta beserta isinya ini diciptakan. Para Dewa adalah cahaya atau sinar Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) yang dikuasakan untuk menjaga alam semesta beserta isinya. Karena itu para Dewa harus dipuaskan dengan pelaksanaan yadnya-yadnya yang sudah ditentukan dalam Veda. Selanjutnya ada berbagai jenis Yadnya yang  dilakukan manusia untuk mencapaikan perasaan atau pengharapannya, misalnya untuk memohon penyucian, permohonan maaf tentunya dengan berbagai jenis persembahannya dengan tujuan akhir dipersembahkan kepada Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa).
Perlu diketahui bahwa segala kebutuhan hidup masyarakat disediakan oleh para Dewa sebagai administrator-administrator alam semesta. Tidak ada seorangpun di dunia ini dapat membuat sesuatu untuk dirinya sendiri, misalnya manusia tidak dapat membuat beras, demikian juga air, api, udara, tanah dan eter. Tanpa kekuatan Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa) tidak mungkin ada sinar matahari, hujan, angin dan lain sebagainya yang berlimpah-limpah dan tanpa ada unsur itu seseorang tidak dapat hidup. Jadi Yadnya yang kita persembahkan adalah sebagai wujud balas budi serta wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia-Nya.
2.3 Pelaksanaan Upacara Dewa Yadnya
      Pelaksanaan dari upacara Dewa Yadnya dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu :
  1. Pelaksanaan yadnya yang dilakukan setiap hari (Nitya Karma), seperti Tri Sandya (sembahyang), menghaturkan canang di setiap Palinggih pada pagi atau sore hari, menjaga kebersihan tempat suci, mesaiban (yadnya sesa).
  2. Pelaksanaan yadnya pada hari-hari suci tertentu (Naimitika Karma) seperti Purnama, Tilem, Tumpek, Anggarkasih, Galungan, Kuningan, Saraswati, Siwaratri dan sebagainya.
  3. Upacara yadnya isidental adalah penyelenggaraan yadnya yang dilaksanakan secara insiden menurut keperluan di masyarakat seperti pelaksanaan upacara pembersihan jagat seperti Rsi Gana dan yang lainnya. Upacara yang terkait dengan tempat-tempat suci seperti melaspas, Pujawali, Piodalan.
Pelaksanaan Dewa Yadnya di samping menggunakan sarana upakara, juga menggunakan puja mantra, serta dilengkapi pula dengan persembahyangan. Sembahyang memiliki pengertian memuja, menyembah, menghormat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Para Dewa, atau kepada sesuatu yang dianggap suci. Sembahyang merupakan perwujudan dari rasa bhakti umat manusia kehadapan Sang Pencipta. Bhakti adalah penyerahan diri sepenuhnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala ketulusikhlasan dan tanpa adanya ikatan ataupun pamrih. Adapun yang menjadi tujuan umat Hindu melaksanakan persembahyangan adalah untuk mewujudkan rasa bhakti kepada Tuhan beserta segala manifestasiNya, memohon waranugraha serta petunjuk untuk menuju kehidupan yang lebih baik, sebagai wujud penyerahan diri, penyucian lahir bhatin, serta tujuan-tujuan lain yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Pelaksanaan Dewa Yadnya yang pelaksanaannya pada waktu-waktu tertentu (Naimitika Karma) ada yang berdasarkan pawukon, wewaran atau juga berdasarkan sasih.
  • Jenis-Jenis Upacara Dewa Yadnya
      Upacara Dewa Yadnya Pada Hari Raya Purnama dan Tilem
Purnama dan Tilem adalah hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dari Sang Hyang Widhi Wasa. Hari Purnama, sesuai dengan namanya, jatuh setiap malam bulan penuh (Sukla Paksa). Sedangkan hari Tilem dirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna Paksa). Kedua hari suci ini dirayakan setiap 30 atau 29 hari sekali. Pada hari Purnama dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Chandra, sedangkan pada hari Tilem dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Surya. Keduanya merupakan manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa yang berfungsi sebagai pelebur segala kekotoran (mala). Pada kedua hari suci ini hendaknya diadakan upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya.
Pada hari Purnama dan Tilem ini sebaiknya umat melakukan pembersihan lahir batin. Karena itu, di samping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk memohon anugrah-Nya, umat juga hendaknya melakukan pembersihan badan dengan air. Kondisi bersih secara lahir dan batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungan dengan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Umat Hindu memiliki hari raya yang didasarkan pada sasih/bulan yaitu Purnama dan Tilem. Hari suci ini dirayakan setiap 15 hari sekali dalam setiap bulannya. Jadi dapat disimpulkan dalam 1 tahunnya umat Hindu merayakan 12 kali hari raya Purnama dan 12 kali hari raya Tilem. Pada hari Purnama umat Hindu memuja Sang Hyang Chandra. Dan pada hari raya Tilem umat Hindu memuja Sang Hyang Surya. Kombinasi hari suci Purnama dan Tilem ini merupakan penyucian terhadap Sang Hyang Rwa Bhinneda yaitu Sang Hyang Surya dan Chandra. Pada waktu gerhana bulan beliau dipuja dengan Candrastawa (Somastawa) dan pada waktu gerhana matahari beliau dipuja dengan Suryacakra Bhuwanasthawa. Pada hari suci Purnama dan Tilem ini biasanya umat Hindu menghaturkan daksina dan canang sari pada setiap Pelinggih dan Pelangkiran yang ada di setiap rumah. Untuk Purnama atau Tilem yang mempunyai makna khusus biasanya ditambahkan dengan banten sesayut.
Hari suci Purnama dan Tilem mempunyai makna khusus bagi umat Hindu yaitu :
  1. Sasih Kapat (Purnama Kapat)
Pada hari Purnama Kapat ini merupakan beryoganya Sang Hyang Purusa Sangkara yang diiringi oleh Para Dewa, Rsigana, Dewa Pitara atau leluhur semuanya. Pada hari suci ini umat Hindu melakukan pemujaan kepada-Nya, khusus untuk para Pandhita wajib melakukan yoga dengan Suryasewana dan Candrasewana. Dalam melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Candra patut mempersembahkan penek jenar, prayascita luwih, pareresikan, daging ayam, dan menghaturkan pula segehan agung. Untuk para widyadara dan widyadari dihaturkan sesayut widyadari di tempat tidur dan untuk para leluhur juga menghaturkan suci lengkap. Untuk para bhuta dipersembahkan segehan agung 1 soroh. Semua itu dilakukan sebagai wujud bhakti untuk memohon kedirgayusan dan kesucian.
Pada saat Tilem sasih Kapat, umat Hindu hendaknya melakukan penyucian diri dan memusnahkan kecemaran diri, yang disebut pamugpug raga roga, dengan mengahaturkan canang wangi di sanggah, menghaturkan satu soroh sesayut widyadari di atas tempat tidur guna memuja Sang Hyang Widyadara Widyadari, untuk memohon ketenangan pikiran dalam melakukan tugas sehari-hari. Pada tengah malam hendaknya melakukan monabrata, memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
  1. Sasih Kapitu
Sehari sebelum Tilem sasih kapitu disebut Hari Raya Siwaratri. Pada malam harinya umat Hindu melakukan brata siwaratri yang terdiri dari mona brata yang artinya tidak berbicara, upawasa yang artinya tidak makan dan minum, dan jagra yang artinya tidak tidur dari pagi sampai pagi kembali. Pada malam ini Bhatara Siwa melakukan Yoga Samadhi, yang hendaknya umat Hindu mengikuti pula dengan melakukan penyucian diri melalui palukatan atau prayascita. Keesokan harinya yaitu pada Tilem Kapitu umat Hindu melakukan pabersihan diri kembali serta melakukan pemujaan di sanggah atau parahyangan masing-masing.
  1. Sasih Kasanga
Pada sasih kasanga tepatnya pada Tilem sasih kasanga merupakan hari penyucian para Dewa dan waktu untuk melakukan Bhuta Yadnya. Pada Tilem kasanga hendaknya melakukan pecaruan di perempatan desa pakraman serta menghaturkan segehan di depan rumah. Esok harinya umat Hindu melakukan Catur Brata Penyepian yang bertepatan dengan Hari Raya Nyepi atau tahun baru Caka.
  1. Sasih Kadasa
Pada saat Purnama Kadasa merupakan pujawali kehadapan Sang Hyang Surya Amrta di setiap parahyangan dengan menghaturkan suci, daksina, ajuman, ajengan, wewangian, dan pareresikan. Pada hari ini umat hendaknya melakukan penyucian diri dengan prayascita.
  1. Upacara Dewa Yadnya Berdasarkan Pawukon
Rangkaian pelaksanaan hari raya berdasarkan perhitungan wuku yakni :
  1. Hari Raya Pagerwesi
Pagerwesi adalah hari raya untuk memuja Sang Hyang Widhi dengan prabhawanya sebagai Sang Hyang Pramesti Guru yang sedang beryoga disertai oleh para Dewa dan Pitara demi kesejahteraan dunia dengan segala isinya dan demi kesentosaan kehidupan semua makhluk.
Rangkaian pelaksanaan hari raya Pagerwesi yaitu :
  1. Soma Ribek
Yaitu hari pemujaan Sang Hyang Sri Amrtha pada pulu (tempat beras) dan lumbung (tempat penyimpanan padi). Soma ribek ini jatuh pada Soma Pon Wuku Sinta. Pada saat ini juga umat Hindu memuja Sang Hyang Tri Pramana (Tiga unsur yang memberikan kekuatan) yaitu Dewi Sri, Dewa Sedana dan Dewi Saraswati. Bratha pada hari ini tidak boleh menjual beras, tidak boleh menumbuk padi.
  1. Sabuh Mas
Yaitu hari penyucian Sang Hyang Mahadewa dengan melimpahkan anugrahnya pada “Raja Brana” (harta benda) seperti emas, perak, manik dan sejenisnya. Sabuh Mas dilaksanakan pada setiap Anggara Wage Wuku Sinta.
  1. Pagerwesi
Pagerwesi dilaksanakan setiap Budha Kliwon Sinta. Pada sat ini umat menghaturkan bakti kehadapan Sang Hyang Pramesti Guru di sanggah kemimitan atau Sanggah Kemulan yang disertai dengan labaan (korban) untuk Sang Panca Maha Butha, agar Sang Panca Maha Butha menjadi senang yang kemudian memberi keselamatan manusia.
  1. Hari Raya Tumpek Landep
Tumpek Landep dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon Wuku Landep, sebagai hari pemujaan Sang Hyang Pasupati (Sang Hyang Siwa), yaitu Dewa penguasa senjata. Pada hari ini dilakukan upacara pemujaan di “prapen” (tempat membuat senjata) seperti keris, pedang dan sarana-sarana tranportasi lainnya seperti mobil, TV dan sebagainya. Tujuan upacara ini adalah untuk memohon anugrah alat-alat tersebut bertuah dan berfungsi sebagaimana mestinya.
  1. Hari Raya Galungan dan Kuningan
Hari Raya Galungan adalah hari raya untuk memperingati hari kemenangan dharma melawan adharma. Rangkaian pelaksanaan Hari Raya Galungan yakni :
  1. Tumpek Wariga
Tumpek Wariga disebut pula hari Tumpek Uduh, Tumpek Pengarah, Tumpek Pengatag, Tumpek Bubuh. Upacara selamatan ditunjukan kehadapan Sang Hyang Sangkara, sebagai Dewa penguasa tumbuh-tumbuhan. Tujuan pelaksanaan pemujaan adalah untuk memohon keselamatan dan kesuburan tumbuh-tumbuhan agar menghasilkan panen yang berlimpah untuk bekal persiapan hari raya Galungan. Tumpek Wariga dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon Wuku Wariga. Pada hari suci ini umat Hindu menghaturkan sesajen dengan upakara pokoknya adalah banten yang berisi bubur sumsum sebagai lambang kesuburan.
  1. Sugihan Jawa
Sugihan Jawa adalah hari pembersihan Bhuana Agung (alam semesta). Sugihan Jawa dilaksanakan setiap Wraspati Wage Wuku Sungsang. Upacara selamatan ditunjukan kehadapan Sang Hyang Dharma untuk memohon kesucian alam semesta dan kesucian alam semesta dan kesucian Bhuana Alit (umat manusia) agar terhindar dari kesengsaraan.
  1. Sugihan Bali
Sugihan Bali dilaksanakan setiap Sukra Kliwon Wuku Sungsang. Pada hari ini umat Hindu melakukan upacara mohon tirtha prastitaan (pembersihan) pada Sang Maha Muni (orang suci) untuk membersihkan segala papa pataka yang ada pada diri kita sendiri.
  1. Hari Penyekeban
Hari Penyekeban dilaksanakan setiap hari Redite Paing Wuku Dungulan. Umat Hindu pada hari ini nyekeb (memeram, pisang atau tape untuk persiapan hari raya Galungan). Mulai hari ini Sang Butha Dungulan turun ke dunia untuk mengganggu ketentraman bathin manusia. Oleh sebab itulah kita harus waspada dengan kekuatan negatif dari Sang Butha Galungan tersebut.
Hari penyekeban ini kenyataanya nyekeb buah-buahan sebagai simbolis pengekangan diri agar tidak tergoda oleh Sang Bhuta Galungan.
  1. Hari Penyajaan
Hari penyajaan dilaksanakan setiap hari Soma Pon Wuku Dungulan. Pada hari ini umat Hindu membuat jaja uli, begina, dan jajan lainnya. Kata jaja secara simbolis berarti saja yang mengandung maksud sungguh-sungguh akan melaksanakan hari raya Galungan. Mulai hari ini turun lagi Sang Butha Kala yang disebut Sang Butha Dungulan. Oleh karena Sang Butha Kala bertambah lagi seorang maka godaannya pun akan menjadi  lebih keras, oleh karena itu kita sebagi umat harus lebih waspada lagi dengan gangguan-gangguan negatif dari Butha Kala tersebut.
  1. Hari Penampahan Galungan
Hari Penampahan Galungan dilaksanakan setiap hari Anggara Wage Dungulan. Pada hari ini umat Hindu kenyataanya menyemblih ternak seperti babi, ayam, itik, atau binatang lainnya untuk keperluan Yadnya dan keperluan pesta menyambut hari raya Galungan. Pada hari ini turun lagi Sang Butha Kala yaitu Sang Butha Kala Amangkurat dengan tujuan menggoda umat manusia agar batal merayakan hari raya Galungan. Sampai hari Penampahan Galungan Butha Kala yang turun ke dunia sudah berjumlah tiga orang, sehingga godaan sangat berat. Oleh sebab itu, kita harus lebih siap mental menghadapinya. Kita menghadapinya harus sungguh-sungguh berdasarkan dharma atau kebenaran. Kalau kita sudah betul-betul menjungjung tinggi dharma niscaya kita akan menang melawan adharma.
Penampahan berasal dari kata “tanpa” yang berarti junjung, maksudnya adalah kalau dharma sudah dijunjung maka adharma akan kalah, hal ini disimbulkan dengan pembantaian babi dan ternak lainnya. Pada hari ini (sore hari) dipasang sebuah penjor Galungan sebagai simbolis gunung (Gunung Agung) atau sebagai simbolos dari naga. Setelah menancapkan penjor dilanjutkan dengan natab atau ngayab banten pabyakaonan untuk menyucikan diri dari gangguan para Butha Kala. Dalam upacara ini diharapkan Butha Matemahan Dewa (Bitha menjadi Dewa).
  1. Hari Raya Galungan
Hari Raya Galungan dilaksanakan tepat pada Budha Kliwon Dungulan. Karena para Butha Kala telah dapat ditundukan pada hari Penampahan Galungan maka kita menyambut hari raya Galungan dengan riang gembira. Hari raya Galungan dirayakan dengan pesta-pesta yang meriah dan semarak oleh umat Hindu. Persembahan-persembahan yang serba utama kehadapan semua manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa. Pelaksanaan hari raya Galungan di Bali merupakan satu-satunya hari raya yang disambut dengan suasana yang paling ramai dan paling meriah oleh seluruh umat Hindu, sehingga hari raya Galungan  disebut dengan hari “Pawedalan Jagat” atau hari  “Otonan Gumi”. Hari raya Galungan lebih semarak dan lebih meriah lagi kalau hari raya Galunga itu jatuh bertepatan dengan hari Purnama yang disebut dengan hari raya Galungan Nadi, dengan ciri-cirinya adalah bambu batang penjornya bagian bawah dikerik bersih dan di ujung bambu penjor bagian atas di isi dengan gerincingan (gongseng) agar dapat berbunyi ngrincing kalau ditempuh angin, sehingga menimbulkan suara yang ramai dan meriah dibandingkan dengan Galungan biasa. Tetapi sebaiknya hari raya Galungan itu bertepatan dengan :
  1. Sasih Kapitu dan hari Tilem disebut masa Kalarau, pada hari raya Galungan ini tidak dibenarkan menghaturkan banten yang berisi tumpeng.
  2. Sasih Kasanga dan kebetulan pula Penampahan Galungan bertepatan dengan hari Tilem, maka pada hari raya Galungan ini tidak boleh makan daging/ikan berdarah dan apabila berani melanggar akan mengakibatkan merajarelanya penyakit hingga bertahun-tahun, karna dipastu oleh Sang Maha Kala Raja, sebab Galungan Nara Mangsa namanya. Demikianlah pewarah-warah Sang Hyang Widhi Wasa yang bergelar Bhatari Putri di Pura Dalem.
  1. Hari Umanis Galungan
Hari Umanis Galungan dilaksanakan setiap Wraspati Umanis Wuku Dungulan. Pada hari umat Hindu melaksanakan penyucian diri lahir dan bathin, lalu menghaturkan sesajen kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasinya, mohon keselamatan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Setelah selesai persembahyangan dilanjutkan dengan mengunjungi sanak keluarganya.
  1. Hari Pemaridan Guru
Hari Pemaridan Guru dilakukan setiap Saniscara Pon Wuku Dungulan. Pada hari ini umat Hindu melakukan persembahyangan, kehadapan para Dewa, menghaturkan parama suksma karena berkat anugrah beliaulah kita dapat merayakan hari raya Galungan dengan selamat dan meriah. Pada hari ini para Dewa kembali kekhayangan setelah meninggalkan anugrah berupa kedirgahayuan (panjang umur).
  1. Hari Ulihan
Hari Ulihan dilaksanakn setiap Redite Wage Kuningan. Pada hari ini umat Hindu melakukan persembahyangan kehadapan Sang Hyang Widhi dan segala manifestasiNya. Pada hari ini pula para Dewa ke singgasananya masing-masing. Umat Hindu mengucapkan syukur atas karunia yang telah dilimpahkan.
  1. Hari Pemacekan Agung
Hari Pemacekan Agung dilaksanakan setiap Soma Kliwon Wuku Kuningan. Pada hari ini umat Hindu menghaturkan sesajen (labaan) kehadapan para butha kala yaitu Sang Kala Tiga Galungan beserta para pengikutnya agar kembali ke tempatnya masing-masing dan memberi keselamatan kepada umat manusia.
  1. Hari Penampahan Kuningan
Hari Penampahan Kuningan dilaksanakan setiap Sukra Wage Wuku Kuningan. Pada hari ini umat Hindu menyemblih hewan ternak untuk persiapan menyambut hari raya Kuningan. Pada hari ini pula umat Hindu membuat sesajen untuk persiapan persembahyangan hari raya Kuningan keesokan  harinya.
  1. Hari Raya Kuningan
Hari raya Kuningan dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. Pada hari ini kita melakukan persembahyangan kepada para Dewa, para leluhur yang menghaturkan sesajen yang berisi ajengan (nasi) yang berwarna kuning yang bersimbolis kemakmuran, karena beliau telah melimpahkan rahmatnya untuk kemakmuran di dunia ini. Kalau sudah makmur biasanya kita sebagai manusia lupa dengan bahaya-bahaya musuh yang tidak kelihatan akan mengancam dan lupa mempersembahkan sesajen kepada Sang Hyang Widhi. Untuk mencegah bahaya yang tidak kelihatan tersebut maka umat manusia memasang tamiang, kolem dan endong sebagai simbolis menolak mala petaka waktu kita tidur dan terlena dan sebagai persembahan kehadapan para Dewa yang akan pergi kekhayangan. Waktu menghaturkan sesajen nasi kuning hendaknya sebelum tengah hari.
1. Hari Umanis Kuningan
Hari Umanis Kuningan dilaksanakan setiap Redite Umanis Wuku Langkir. Pada hari ini umat Hindu mengadakan kunjungan keluarga untuk saling maaf- memaafkan sambil berkreasi ke tempat-tempat hiburan bersama keluarga.
  1. Hari Budha Kliwon Pegat Warah/Pegat Wakan
Hari Budha Kliwon Pegat Warah dilaksanakan setiap Budha Kliwon Wuku Pahang. Pegat Warah berarti diam (mona). Jadi pada hari ini adalah hari yang baik untuk melaksanakan mona bratha (bratha dhayana/dhayana pralina). Pada hari ini umat Hindu mengadakan persembahyangan dengan mempersembahkan sesajen kepada Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasiNya. Sore harinya penjor Galungan dicabut sebagai pertanda bahwa rangkaian hari raya Galungan telah berakhir. Semua hiasan-hiasan penjor tersebut dilepas dan dibakar.
  1. Upacara Dewa Yadnya Berdasarkan Panca Wara
Seperti yang telah diketahui bahwa Sapta Wara adalah istilah lain dari nama hari-hari masehi seperti Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Sapta Wara itu terdiri dari Redite, Soma, Anggara, Buda, Wrespati, Sukra, Saniscara. Sedangkan untuk Panca Wara terdiri Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. Rerahinan yang berdasarkan Panca Wara yaitu :
  1. Hari Kliwon
Hari payogan/samadhinya Bhatara Siwa. Umat Hindu pada hari ini dianjurkan untuk melaksanakan tapa, bertirta gocara bersuci diri, dan menyucikan pikiran. Upakara yang dipersembahkan antara lain :
  1. Di sanggar dan pelangkiran di atas tempat tidur mempersembahkan: canang lenga wangi dan burat wangi
  2. Menghaturkan segehan kepelan dengan lauk garam dan bawang jahe, masing-masing dipersembahkan :
  • Di natar rumah dipersembahkan kehadapan Sang Kala Bucari.
  • Di natar sanggah/merajan dipersembahkan kehadapan Sang Bhuta Bucari.
  • Di halaman luar rumah dipersembahkan kehadapan Sang Durga Bucari.
Ketiganya itu diberi labaan dan diminta untuk menjaga pekarangan rumah dengan segala isinya.
Khusus pada hari Kajeng Kliwon, upakaranya sama dengan di atas, ditambah dengan segehan warna 9 tanding dipersembahkan di halaman luar rumah kehadapan Sang Bhuta Bucari dan di sanggar yang ada di samping pintu keluar mempersembahkan canang lenga wangi burat wangi ditujukan kehadapan sang hyang durga dewi
  1. Hari Selasa Kliwon, disebut Anggara Kasih
Hari ini adalah hari payogannya Bhatara Rudra. Beliau beryoga untuk menghilangkan kekotoran alam semesta. Bagi umat Hindu dianjurkan juga untuk melaksanakan yoga untuk menghilangkan mala petaka dan rintangan yang ada pada diri sendiri. Upakara yang yang dipembahkan antara lain canang lenga wangi burat wangi, dipersembahkan di sanggar dan di pelangkiran d iatas tempat tidur dan dilanjutkan dengan mohon air suci atau tirta gocara.
  1. Hari Rebo Kliwon
Hari ini adalah hari pasucian Sang Hyang Bayu. Pemujaan ditujukan kehadapan Sang Hyang Nirmala Jati, dengan upakaranya yaitu wangi-wangi (canang lenga wangi burat wangi), canang yasa, kembang pahyas, dipersembahkan di sanggar dan di pelangkiran di atas tempat tidur. Maknanya adalah mohon keselamatan Tri Mandala (Tri Bhuwana).
  1. Hari Rebo Wage disebut Buda Cemeng
Hari payogannya Bhatari Manik Galih, menurunkan Sanghyang Ongkara Mretha (sumber kehidupan) di dunia ini. Pelaksanaan pemujaanya dengan menghaturkan canang lenga wangi di sanggar dan di pelangkiran di atas tempat tidur, ditujukan kehadapan Hyang Sri Nini. Pada malam harinya melaksanakan yoga diyana dan samadhi.
  1. Hari Sabtu Kliwon Disebut Tumpek
Maknanya adalah sebagai hari untuk mengingatkan agar umat manusia tidak melupakan dan tidak menjauh dari Hyang Maha Wisesa (Tuhan Maha Pencipta). Sebab segala yang ada di dunia ini diciptakan oleh beliau dan Maha Wisesa. Pada malam harinya tidak diperkenankan bekerja melainkan hanya bersuci diri, melakukan perenungan dan pemusatan pikiran yang ditujukan kehadapan Sang Hyang Dharma.
2.5 Jenis-Jenis Upakara Dewa Yadnya 
Upakara Pada Hari-Hari Tertentu Lainnya
  1. Pada Waktu Gerhana Bulan
Adalah bertemunya pada satu garis antara bulan dan matahari. Upakara yang patut dipersembahkan adalah canang lenga wangi burat wangi, buah-buahan, bubur biaung, disertai penek putih kuning adananan, beserta bungan yang berbau harum, rujak, rantasan putih, dan dupa astanggi. Dan lagi dianjurkan agar melaksanakan tapa diyana, samadhi dan membaca cerita-cerita yang utama seperti parwa-parwa dan sejenisnya di halaman rumah, sambil memuja Sang Hyang Surya Candra.
  1. Pada Waktu Gerhana Matahari
Pelaksanaan dan upacaranya sama dengan gerhana bulan tersebut di atas.
  1. Upakara Mantenin
Upacara ini dilaksanakan setelah selesai panen dan padi umumnya telah dinaikkan ke lumbung. Upacara ini ditujukan kehadapan Dewi Sri sebagai cetusan rasa syukur dan terima kasih atas keberhasilan panen dan mohon agar senantiasa diberkati sehingga hemat dalam penggunaannya sehari-hari. Upakaranya adalah sebagai berikut :
  1. Upakara di bawah di depan lumbung yaitu caru ayam brumbun dan segehan agung.
  2. Upakara di depan pintu lumbung yaitu :
  • Nasi pangkonan putih lauknya putih telor diletakkan diarah timur.
  • Nasi pangkonan merah lauknya kacang-kacangan diletakkan ke arah selatan.
  • Nasi pangkonan kuning lauknya kuning telor diletakkan di arah barat.
  • Nasi pangkonan hitam lauknya jenis-jenis ikan sungai diletakkan di arah utara.
  • Nasi pangkonan campuran lauknya campuran diletakkan ke arah tengah.
Upakaranya tersebut juga dilengkapi dengan jajan, pala bungkah, pala gantung, buah-buahan, canang burat wangi atau jenis canang yang lainnya. Di depan pintu lumbung juga didirikan sebuah penjor beserta dengan kelengkapannya.
  1. Upakara yang dipersembahkan di dalam lumbung yaitu :
  1. Dengan tingkatan yang sederhana, upakaranya berupa peras, ajuman, daksina, ketipat kelanan, canang burat wangi.
  2. Dengan tingkatan yang lebih besar upakarnya sama seperti tersebut di atas, ditambah dengan suci 5 soroh dengan ketentuan sebagai berikut :
  • Suci yang diletakkan di arah timur dipersembahkan kehadapan Bhatara Uma.
  • Suci yang diletakkan di arah selatan dipersembahkan kehadapan Bhatari Sri Saraswati.
  • Suci yang diletakkan di arah barat dipersembahkan kehadapan Bhatari Sri Maha Dewi.
  • Suci yang diletakkan di arah utara dipersembahkan kehadapan Bhatari Sri Dewi.
  • Suci yang diletakkan di arah tengah dipersembahkan kehadapan Bhatari Saraswati Dewi.
Khusus suci yang ditengah juga dilengkapi dengan beberapa jenis upakara seperti tumpeng agung, tadah pawitra, pasucian, beberapa jeni cau (sejenis jejahitan berisi nasi dan lauk pauknya) serta ayaban seperti piodalan alit. Pada pelaksanaan uacara mantenin, di samping mempersembahkan upakara di lumbung, juga mempersembahkan upakara seadanya, di beberapa tempat antara lain di sumur, tempat beras, alat-alat perlengkapan pertanian, tempat air dan lain- lainnya. Sebelum dilaksanakan upacara mantenin, para petani biasanya pantang untuk menumbuk padi hasil panennya itu.
  1. Upacara Dewa Yadnya Pada Hari Lainnya
Upacara Dewa Yadnya pada hari lainnya juga dilaksanakan pada hari tertentu atau berkaitan dengan tempat suci dan waktu yang khusus. Adapun upacara Dewa Yadnya yang terkait dengan tempat suci, yaitu :
  1. Pamelaspas
Upacara ini adalah upacara penyucian terhadap tempat suci yang biasanya tempat atau bangunan-bangunan suci tersebut baru selesai dibuat atau diperbaiki. Biasanya upacara ini didahului dengan pemilihan tempat, dilanjutkan dengan upacara Pangruwakan dan Pacaruan.
  1. Pujawali
Upacara ini adalah sebagai hari jadi dari tempat suci tersebut. Pada saat Pujawali, umat penyungsung Pura itu melakukan upacara Yadnya.
  1. Piodalan
Upacara ini bisa dilakukan tidak secara tepat pada waktu yang berkala. Piodalan biasanya dilakukan di Sanggah Jajaran, Pamerajan Agung, Sanggah Dadia atau sejenisnya, dan pelaksanaannya tergantung pada situasi dan kondisi atas kesepakatan karma penyungsung disamping pula pelaksanaan piodalan tidak terlepas dari Desa, Kala, Patra.
Selanjutnya terdapat pula upacara Dewa Yadnya yang dilaksanakan pada waktu yang khusus, yaitu :
  1. Ngusaba
Upacara Ngusaba adalah suatu upacara pemujaan yang berkaitan erat dengan masalah pertanian atau subak. Upacara Ngusaba cenderung melibatkan masyarakat yang berprofesi sebagai petani. Upacara Ngusaba terdiri dari dua bagian, yaitu :
  1. Ngusaba Nini, adalah upacara selamatan unutk lahan pertanian yang basah terutama yang menghasilkan padi.
  2. Ngusaba Desa, adalah upacara selamatan untuk lahan kering seperti ladang dan kebun.
Pada dasarnya upacara Ngusaba ini dilaksanakan bertujuan agar kegiatan pertanian dapat berjalan dengan baik dan memberi hasil melimpah yang baik pula serta memohonkan agar lahan pertanian beserta tanamannya tidak diganggu oleh segala macam hama dan penyakit yang dapat merugikan pertanian. Dapat pula diartikan sebagai upacara penyucian terhadap karang desa pakraman. Untuk upacara Ngusaba yang dipuja adalah Dewa Wisnu dan Dewi Sri sebagai penguasa kesuburan dan kemakmuran.
  1. Ngaci-aci
Aci-aci adalah upacara ritual keagamaan yang berfungsi sebagai persembahan kehadapan Dewi Sri, Dewi Uma, dan Dewi Parwati. Pada prinsipnya upacara ini sama dengan upacara Ngusaba Nini. Masyarakat khususnya para petani melakukan pemujaan dan memohon tirtha amertha yang kemudian dipercikkan di sawah agar Dewi Sri (Dewi Uma) sebagai Dewi kesuburan dan kemakmuran memberikan waranugraha sehingga tanaman padi atau tanaman sawah dapat hidup dengan baik tidak diganggu oleh hama dan penyakit sehingga bisa memberikan hasil yang baik dan melimpah.
  1. Melasti
Upacara Melasti disebut juga Mekiis atau Melis. Upacara Melasti ini mempunyai makna untuk menyucikan berbagai sarana yang terkait dengan pelaksanaan upacara di suatu Pura atau tempat suci seperti misalnya arca, pratima, pralingga dan perlengkapan upacara lainnya. Selain itu upacara Melasti ini juga memiliki makna nganyud sarwa mala ring gumi supaya Bhuana Agung dan Bhuana Alit bersih dan suci.
Sekaligus dalam upacara Melasti melakukan pemujaan untuk memohon tirtha suci. Upacara Melasti ini dilaksanakan di tepi laut atau pantai, bisa juga di mata air terdekat yang dipandang suci seperti danau, sungai, dan yang lainnya yang sesuai dengan tradisi setempat. Setelah upacara Melasti dilaksanakaan barulah Ida Bhatara-Bhatari yang disimbolkan dengan Nyasa-nyasa diistanakan di Pelinggih tempat suci.
 BAB III
PENUTUP
Dewa Yadnya adalah persembahan yang tulus ikhlas kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa beserta segala bentuk manifestasi-Nya. Dewa berasal dari kata Div yang artinya sinar atau cahaya suci. Pelaksanaan Dewa Yadnya memiliki tujuan antara lain untuk menyatakan rasa terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai ungkapan rasa bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai jalan untuk memohon perlindungan dan waranugraha, permohonan pengampunan atas segala dosa, serta sebagai pengejawantahan ajaran Weda.
Jadi Yadnya yang kita persembahkan adalah sebagai wujud balas budi serta wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia-Nya. Pelaksanaan dari Dewa Yadnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pemujaan yang dilakukan setiap hari (Nitya Karma), seperti tri sandya (sembahyang), menghaturkan canang di setiap Palinggih pada pagi atau sore hari, menjaga kebersihan tempat suci, mesaiban (yadnya sesa) dan upacara yadnya yang dilakukan pada hari-hari suci tertentu (Naimitika Karma) seperti Purnama, Tilem, Tumpek, Anggarkasih, Galungan, Kuningan, Saraswati, Siwaratri dan sebagainya berdasarkan Pawukon atau pertemuan Saptawara dan Pancawara serta upacara yang terkait dengan tempat-tempat suci seperti Melaspas, Pujawali, Piodalan, upacara pada waktu dan hari yang khusus seperti Ngusaba, Ngaci-aci, Melasti.

Nitisastra

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM
KEPEMIMPINAN BERUMAH TANGGA
  1. Pengertian Tri Hita Karana
Tri Hita Karana merupakan suatu konsep atau ajaran dalam agama hindu yang selalu menitikberatkan bagaimana antara sesama bisa hidup secara rukun dan damai.  Tri hita karana bisa diartikan Secara leksikal yang berarti tiga penyebab kesejahteraan. Yang mana Tri yang artinya tiga, Hita yang artinya sejahtera, dan Karana yang artinya penyebab. Adapun tiga hal tersebut adalah parhayangan, pawongan, dan palemahan. Konsep Tri Hita Karana muncul berkaitan dengan keberadaan desa adat di Bali. Hal ini disebabkan oleh terwujudnya suatu desa adat di Bali bukan saja merupkan persekutuan daerah dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam masyarakat, namun juga merupakan persekutuan bersama dalam kepercayaan memuja Tuhan. Dengan kata lain bahwa ciri khas desa adat di Bali harus mempunyai unsur wilayah, orang-orang atau masyarakat yang menempati suatu wilayah serta adanya tempat suci untuk memuja Tuhan.
Bagian-bagian ajaran Tri Hita karana meliputi:
1. Parhayangan
Parhyangan berasal dari kata hyang yang artinya Tuhan. Parhayangan berarti ketuhanan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja ida sang hyang widhi wasa. Dalam arti yang sempit parhyangan berarti tempat suci untuk memuja Tuhan.
Menurut tinjauan Dharma susilanya, manusia menyembah dan berbhakti kepada tuhan disebabkan oleh sifat-sifat parama (mulia) yang dimilkinya. Rasa bhakti dan sujud pada tuhan timbul dalam hati manusia oleh karena sanghyang widhi maha ada, maka kuasa, maha pengasih yang melimpahkan kasih dan kebijaksanaan kepada umatnya. Kita  Sebagai umat yang beragama yang bernaung dibawah perlindungannya sangat berutang budi lahir bhatin kepada beliau. Dan utang budhi tersebut tak akan terbalas oleh apapun. Karena hal tersebut diatas, maka satu-satunya dharma/susila yang dapat kita sajikan kepada beliau hanyalah dengan jalan menghaturkan parama suksmaning idep atau rasa terima kasih kita yang setinggi-tingginya kepada beliau.
Dalam Bhagawadgita Bab.IX Sloka.14 dikatakan bahwa:
“Satatam kirtayatom mam
Yatantas ca drsha vrtatah
Namasyantas ca mam bhatya
Ni tyayuktah upsate”
Yang artinya adalah:
Berbuatlah selalu hanya untuk memuji-Ku dan lakukanlah tugas pengabdian itu dengan tiada putus-putusnya. Engkau yang memujaku dengan tiada henti-hentinya itu serta dengan kebaktian yanbg kekal adalah dekat dengan-Ku.
Disamping itu rasa bhakti kepada ida sanghyang widhi wasa itu timbul dalam hati manusia berupa sembah, puji-pujian, doa penyerahan diri, rasa rendah hati dan rasa berkorban untuk kebajikan. Kita sebagai umat manusia yang beragama dan bersusila harus menjunjung dan memenuhi kewajiban, antara lain cinta kepada kebenaran, kejujuran, keikhlasan, dan keadilan.
Dengan demikian jelaslah begaimana hubungan antara sanghyang widi dengan manusia. Hubungan ini harus dipupuk dan ditingkatkan terus kearah yang lebih tinggi dan lebih suci lahir bhatin. Sesuai dengan swadharmaning umat yangb religius, yakni untuk dapat mencapai moksartam jagad hita ya ca itri dharma, yakni kebahagiaan hidup duniawi dan kesempurnaan kebahagioan rohani yang langgeng (moksa).
2. Pawongan
Pawonan berasal dari kata wong (dalam bahasa jawa) yang artinya orang. Pawongan adalah  perihal yang berkaitan dengan orang dalam satu kehidupan masyarakat, dalam arti yang  sempit pawongan adalah kelompok manusia yang bermasyarakat yang tinggal dalam satu wilayah.
Pada mulanya Tuhan yang lebih dulu menciptakan bhuwana atau alam, maka munculah palemahan, setelah itu barulah beliau menciptakan manusia beserta mahluk hidup lainya. Setelah manusia berkembang dan menghimpun diri dalam kehidupan bersama dan mendiami suatu wilayah tertentu maka muncullah masyarakat yang disebut dengan pawongan.
Selain menyelaraskan hubungan atman dengan paramatman atau hubungan manusia dengan tuhan, kita sebagai mahluk sosial juga harus membina hubungan dengan sesama Manusia dan mahluk lainya. Yang dimaksud dengan hubungan antar manusia dan mahluk lain ini adalah hubungan antar anggota keluarga , masyarakat, antara anak, suami dan istri dan lainnya. Hubungan manusia dengan mahluk lainya hendaknya dapat menciptanya suasana rukun, harmonis, dan damai serta saling bantu membantu satu sama lain dengan hati yang penuh dengan cinta kasih. Yang mana kasih merupakan dasar kebajikan. Kasih muncul dari dalam kalbu yang merupakan alam paramatman, yaitu lama ananda (kebahagiaan).
Dalam manu smerti II,138 disebut:
“satyam bruyat priyam bruyam
na bruyam satyam, priyam canartam,
bruyat esa dharmah sanatanah”
Yang artinya:
Berkatalah yang sewajarnya jangan mengucapkan kata kata yang kasar. Walaupun kata-kata itu benar, jangan pula mengucapkan kata-kata lemah lembut namun dusta. Inilah hukum susila yang abadi (sanatana dharma).
Perilaku yang baik adalah dasar mutlak dalam kehidupan sebagai manusia, karena dengan berbuat susila manusia dapat meningkatkan taraf hidupnya baik di alam sekala maupun di alam niskala.
3. Palemahan
Palemahan berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berati bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah sutu pemukiman atau tempat tinggal.
Manusia hidup dimuka bumi ini memerlukan ketentraman, Kesejukan, ketenangan dan kebahagiaan lahir dan bhatin. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang melandasi terjadinya hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta ini.
Untuk tetap menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam, umat Hindu melaksanakan upacar tumpek uye (tumpek kandang), yang bertujuan untuk menjaga kelestarian hidup binatang dan melaksanakan upacara tumpek wariga (tumpek bubuh) untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan.
Demikianlah penjelasan mengenai pembagian dari tri hita karana tersebut. Arti penting ajaran Tri hita karana ini merupakan ajaran agama hindu yang universal. Ajaran tri hita karana mengarahkan manusia untuk selalu mengharmoniskan hubungan manusia dengan sang pencipta, manusia dengan alam semesta, dan hubungan manusia dengan alam semesta atau lingkunganya.
Arah dan sasaran dari tri hita karana adalah mencapai mokrastham jagad hita ya ca iti dharma, yakni mencapai kebahagiaan lahir dan bhatin sehingga dengan keharmonisan maka tercapailah kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir dari agama hindu yakni bersatunya atman dengan paramatman.
  1. Pengertian Kepemimpinan
Secara umum, kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan untuk mengkoordinir dan mengerahkan orang-orang serta golongan-golongan untuk tujuan yang Bahasan mengenai pemimpin dan kepemimpinan pada umumnya menjelaskan bagaimana untuk menjadi pemimpin yang baik, gaya dan sifat yang sesuai dengan kepemimpinan serta syarat-syarat apa yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik.
Menyimak pengertian di atas maka terkait dengan kepemimpinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kepemimpinan selalu melibatkan orang lain sebagai pengikut. Kedua, dalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuatan yang tidak seimbang antara pemimpin dan yang dipimpin. Ketiga, kepemimpinan merupakan kemampuan menggunakan bentuk-bentuk kekuatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Keempat, kepemimpinan adalah suatu nilai (values), suatu proses kejiwaan yang sulit diukur. Kata kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin yang artinya bimbing atau tuntun. Dari kata pimpin lahirlah kata kerja memimpin yang artinya membimbing atau menuntun, dan kata benda pemimpin yaitu orang yang berfungsi memimpin atau menuntun atau orang yang membimbing. Kepemimpinan memiliki berbagai istilah seperti: Leadership “leader” dari kata asing, management dari kata ilmu administrasi dan Nitisastra dari kata Hindu.
Untuk memahami kepemimpinan Hindu atau kepemimpinan yang universal, seseorang dianjurkan untuk mempelajari niti sastra. Mengingat, pengetahuan dan pemahaman sejarah/konsep pemikiran Hindu (niti sastra) di bidang Politik, ketatanegaraan, ekonomi, dan hukum yang masih relevan sampai kini. Konsep-konsep tersebut adalah sumber penting yang memberi kontribusi perkembangan konsep-konsep selanjutnya  di India, Asia bahkan, dunia. Adapun kontribusi niti sastra dalam peradaban global antara lain:
  1. Pemikiran dalam niti sastra dapat memberi masukan penting berupa konsep dan nilai positif dalam pengembangan, pembaharuan, penyusunan kembali konsep-konsep politik, ketatanegaraan, ekonomi, peraturan hukum era kini.
  2. Usaha menggali, mengangkat nilai-nilai Hindu sebagai sumbangan Hindu dalam percaturan dunia keilmuan. Paradigma sosial bahwa politik itu kotor dapat hilang.
Dalam agama Hindu, banyak ditemukan istilah yang menunjuk pada pengertian pemimpin. Bila bakat kepemimpinannya yang menonjol dan mampu memimpin sebuah organisasi dengan baik disebut Ksatriya, karena kata ksatriya artinya yang memberi perlindungan. Demikian pula yang memiliki kecerdasan yang tinggi, senang terjun di bidang spiritual, ia adalah seorang Brahmana. Demikian pula profesi-profesi masyarakat seperti pedagang, bussinessman, petani, nelayan dan sebagainya.
Dalam sejarah Hindu banyak contoh pemimpin yang perlu dijadikan suri teladan. Di setiap jaman dalam sejarah Hindu selalu muncul tokoh yang menjadi pemimpin. Sebut saja Erlangga, Sanjaya, Ratu Sima, Sri Aji Jayabhaya, Jayakatwang, Kertanegara, Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan masih banyak lagi lainnya. Di era sekarang banyak tokoh Hindu yang juga dapat dijadikan sebagai panutan/pimpinan seperti: Mahatma Gandhi, Svami Vivekananda, Ramakrsna, Sri Satya Sai dan sebagainya.
Selain itu contoh kepemimpinan Hindu yang ideal dapat ditemukan dalam cerita Itihasa dan Purana. Banyak tokoh dalam cerita tersebut yang diidealkan menjadi pemimpin Hindu. Misalnya: Dasaratha, Sri Rama, Wibhisana, Arjuna Sasrabahu, Pandudewanata, Yudisthira dan lain-lain.
  1. Fungsi Kepemimpinan Hindu
Berdasarkan tinjauan terminologis, etimolis dan semantik serta berdasar kutipan-kutipan terjemahan mantra Veda dan terjemahan sloka-sloka kitab Arthasastra maka dapat dirumuskan  fungsi-fungsi kepemimpinan dalam Hindu atas dua jenis fungsi, yaitu:
  1. Melindungi masyarakat, memberikan rasa aman, bertanggung jawab serta memberikan bimbingan kepada warganya untuk turut mewujudkan rasa aman dan tentram dikalangan mereka (fungsi security).
  2. Mewujudkan kemakmuran bersama-sama anggota masyarakat untuk mewujudkan kesejahtraan, kemakmuran dan melepaskan pederitaan masyarakat lahir dan batin (fungsi prosperity).
Kepemimpinan yang berlandaskan ajaran Agama Hindu tentunya dapat mengaktualisasikan ajaran Agama Hindu. Untuk itu fungsi-fungsi agama bagi kehidupan manusia harus disadari dan dipahami oleh seorang pemimpin, sebab membahas kepemimpinan Hindu tidak dapat melepaskan diri untuk tidak mengkaji ajaran Agama Hindu.  Dalam hubungannya dengan kehidupan manusia, agama dan juga pemimpin atau kepemimpinan mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:
  1. Sebagai factor motivatif, mendorong, mendasari, melandasi cita-cita dan amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya.
  2. Sebagai faktor kreatif, produktif dan innovatif, mendorong dan mengharuskan untuk tidak hanya melakukan kerja produktif saja, tetapi juga kreatif dan innovatif.
  3. Sebagai faktor integratif, memadukan segenap aktivitas manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Keyakinan dan penghayatan terhadap ajaran agama akan menghindarkan manusia dari situasi dan kepribadiannya yang pecah. Dengan keutuhan kepribadiannya itu manusia akan mampu menghadapi berbagai macam tantangan dan resiko kehidupan.
  4. Sebagai faktor sublimatif atau transformatif, mampu mengubah sikap dan prilaku, perkataan maupun perbuatan sesuai sesuai dengan ajaran agama.
  5. Sebagai faktor inspiratif, memberikan inspirasi bagi pengembangan seni dan budaya yang dijiwai oleh Agama Hindu.
  1. Penerapan Tri Hita Karana dalam Rumah Tangga
Berbicara kebahagiaan atau mengenai Tri Hita Karana tidaklah bisa dipisahkan antara pawongan, palemahan dan parahyangan sebab antara satu dan yang lainya saling keterikatan yang mana implementasi ketiga ajaran tersebut menentukan kebagaiaan manusia dan alam semesta ini sebab dalam Tri Hita Karana tidak saja hubungan antara manusia saja, melainkan hubungan dengan alam dan tuhan pula diajarkan.
Penerapan Tri Hita Karana sesungguhnya dapat diterapkan dimana dan kapan saja dan idealnya dalam setiap aspek kehidupan manusia dapat menerapkan dan mempraktekan tri hita karana ini yang sangat sarat dengan ajaran etika yakni tidak saja bagaimana kita diajarkan bertuhan dan mengagungkan tuhan namun bagaimana srada dan bhakti kita kepada tuhan melalaui praktik kita dalam kehidupan sehari-hari seperti mengahargai antara manusia dan alam semesta ini yang telah memberikan kehidupan bagi kita.
Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia selalu mencari kebahagiaan dan selalu mengharapkan agar dapat hidup secara damai dan tentram baik antara manusia dalam hal ini tetangga yang ada dilingkungan tersebut maupun dengan alam sekitarya. Hubungan tersebut biasanya terjalin dengan tidak sengaja atau secara mengalir saja terutama dengan manusia namun ada juga yang tidak memperdulikan hal tersebut dan cenderung melupakan hakekatnya sebagai manusia sosial yang tak dapat hidup sendiri. Dalam kehidupan manusia, segala sesuatu berawal dari diri sendiri dan kemudian berlanjut pada keluarganya. Dalam keluarga, manusia akan diberikan pengetahuan dan pelajaran tentang hidup baik tentang ketuhanan ataupun etika oleh orang tua atau pengasuh kita (wali), dan beranjak dari hal tersebut pula orang tua secara perlahan menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam tubuh dan pikiran setiap anak-anaknya melalui praktik maupun teori. Begitu pula halnya dengan pendidikan atau pemahaman tentang tri hita karana itu sendiri, secara sadar maupun tidak sadar hal tersebut atau nilai-nilai ajaran tersebut sudah ditanamkan oleh orang tua melalui praktik kepada anak-anaknya seperti mengajarkan anaknya untuk mebanten saiban. Memang hal ini manpak sepele namun jika kita mampu mengkaji lebih dalam sesungguhnya hal ini mengandung nilai pendidikan yang sangat tinggi meskipun orang tua kebanyakan tidak mampu menjelaskan secara logika dan benar makna dari tindakan tersebut.
Selain hal tersebut diatas masih banyak hal terkait penerapan tri hita karana yang dapat dilakukan dalam kehidupak keluarga, seperti mebanten ketika hendak melakukan suatu kegiatan seperi membuka lahan perkebunan yang baru. Hal ini jika dikaji tidak hanya penghormatan kepada alam namun penghormatan kepada tuhan melalui tindakan yang secara kasat mata meminta ijin beliau untuk memakai alam tersebut untuk kebutuhan manusia. Interaksi manusia dengan alam dan Tuhan yang nampak pada kegiatan tersebut hampir tidak pernah diperbincangkan oleh manusia dan menganggap hal tersebut sebagi hal yang biasa, namun demikianlah umat hindu mengimani ajaran Tri Hita Karana yang mana penerapannya sendiri terkadang dilakukan secara tidak sengaja namun mengena pada sasaran.
Mengenai hubungan manusia dengan sesam (pawongan), ajaran tri hita karana nampak pada upacara manusia yadnya misalnya upacara otonan yang mana yang dilakukan untuk memperingati hari kelahiran kita dan bersyukur kepada tuhan karena telah dilahirkan. Ajaran Tri Hita Karana tidak bisa diterapkan dalam satu bidang saja namun ada keterkaitannya dengan yang lain seperti contoh diatas, tidak saja untuk manusia dilakukan upacara tersebut namun ditujukan pula kepda tuhan. Demikian mulianya huhungan yang diajarkan tri hita karana pada manusia yang selalu menekankan kepada manusia agar selalu ingat bahwa kita didunia ini tidaklah hidup sendirian, ada tentangga dalam hal ini manusia lain yang kita butuhkan sebagai mahluk sosial, ada alam yang memberi kita berkah agar bisa meneruskan hidup dan ada tuhan sebagai pencipta kita. Sehingga kita senantiasa harus menjaga hubungan tersebut agar terjadi keseimbangan dalam hidup ini. Demikianlah contoh secara gamlang yang dapat diuraikan selain masih banyak lagi contoh lain yang terkait mengenai hal tersebut yang mana bisa dimulai dari lingkungan rumah tangga atau lingkungan keluarga, sebab dalam keluarga banyak memberikan edukasi yang tinggi tentang nilai-nilai serta konsep ketuhanan, sehingga dari padanya hendaknya kepada anak diberikan hal itu sedini mungkin.

Kesusastraan Hindu

BAB I
PENDAHULUAN
  • Latar Belakang
Purana merupakan salah satu sumber ajaran hindu. Kata Purana berasal dari dua kata, yaitu “pura” dan “ana”. Kata Pura bearti jaman kuno dan Ana berarti mengatakan. Jadi purana adalah sejarah kuno. Pada dasarnya Purana berisi cerita dewa-dewa, raja-raja, dan rsi kuno. Purana berarti juga ceritera kuno, penceritra sejarah, koleksi ceritra. Dan di setiap ceritra yang ada pada purana intinya mengandung ajaran agama.
Purana adalah naskah suci yang digubah beberapa ratus tahun yang lalu. Banyak upacara dan cerita yang membentuk bagian yang integral dalam agama Hindu. Kebanyakan cerita ini dapat ditemukan dalam kitab – kitab Purana. Bersamaan dengan dua cerita lainnya yaitu Ramayana dan Mahabharata, Purana juga dibaca, dihormati dan dipercaya.
Ada delapan belas Purana utama yang disebut sebagai mahapurana. Kata maha berarti utama. disamping itu juga terdapat beberapa purana tambahan atau minor atau upapurana. Kata upa berarti kecil atau tambahan. Upapurana terdiri dari delapan belas purana.
Salah satunya adalah Linga Purana. Dalam Daftar Maha purana Linga Purana menduduki urutan kesebelas, namun tidak berarti Linga Puranan berada di urutan kesebelas dalam penyusunannya, ada banyak ritual upacara dalam naskah ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa Linga Puranan disusun ketika Agama Hindu telah menjadi semakin Ritualistik. Tahun penyusunannya mungkin berkisar antara 800-900 sebelum masehi. Bahasa linga Purana ini cukup sulit untuk dimengerti, komposisi naskah juga tidak seindah Purana lain, kalimatnya masih berliku2 hingga memahaminya relatif sulit.
  • Rumusan Masalah
  1. Bagaimana Ajaran Sraddha Dalam Lingga Purana?
  2. Bagaimana Ajaran Acara Agama Dalam Lingga Purana?
  • Tujuan Masalah
  1. Untuk mengetahui Ajaran Sraddha Dalam Lingga Purana.
  2. Untuk mengetahui Ajaran Acara Agama Dalam Lingga Purana.
BAB II
PEMBAHASAN
  • Ajaran Sraddha Dalam Lingga Purana
Sradha berarti “yakin”, “percaya”, yang melandasi umat Hindu dalam meyakini keberadaan-Nya. Purana adalah naskah suci yang digubah beberapa ratus tahun yang lalu. Banyak upacara dan cerita yang membentuk bagian yang integral dalam agama Hindu. Kebanyakan cerita ini dapat ditemukan dalam kitab – kitab Purana.
Adapun ajaran sradha yang terdapat dalam Linga Purana yaitu sebagai berikut:
  • Brahmavidya
Brahmavidya (berasal dari bahasa Sansekerta kata-kata brahma dan vidya) adalah cabang pengetahuan Kitab Suci berasal terutama melalui studi mantra veda & Upanishad. Disatukan, itu berarti pengetahuan tentang mantra / mutlak. Brahmavidya dianggap ideal tertinggi klasik Hindu.
Dalam Purana, ini terbagi menjadi dua cabang, yang pertama berurusan dengan mantra Veda dan disebut para vidya atau mantan pengetahuan, dan yang terakhir berurusan dengan studi Upanishad dan disebut vidya Apara atau pengetahuan yang terakhir. Baik para dan Apara Vidya merupakan brahma vidya.
Dewa-dewa yang dibahas dalam Lingga Purana seperti Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa. Dewa yang paling dipuja dalam Lingga Purana adalah Dewa Siwa, karena Beliau dianggap dewa yang paling dimuliakan. Ada juga dewa yang di puja selain ketiga dewa diatas yaitu; Dewa Agni, Dewa Yama, Dewa Dharma, Dewa Indra, Dewa Surya, Dewa Candra, dan Dewa Narayana.
  • Karmaphala
Karma phala merupakan salah satu bagian dari ajaran Sraddha dalam Agama Hindu. Karma phala sudah sangat lumrah dalam masyarakat yang sering juga disebut dengan hukum karma. Kata “Karmaphala” terdiri atas dua (2) kata, yaitu Karma dan Phala. Kata “Karma” dari urat kata “Kr”  berarti berbuat, bekerja. Kata Karma dapat diartikan sebagai Perbuatan. Karma bersumber dari Pikiran, Perkataan dan tingkah laku. Sehingga sesuai dengan sumbernya, karma ada 3 yaitu karma dalam bentuk pikiran, karma dalam bentuk perkataan, dan karma dalam bentuk tingkah laku. Manusia seringkali melakukan perbuatan adaa yang disadari maupun yang tidak disadari. Walau demikian karma itu mencakup segala bentuk perbuatan baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian Karma adalah segala bentuk perbuatan yang ada dalam pikiran, perkataan dan tingkah laku baik yang disadari maupun yang tidak disadari.
Kata phala berasal dari bahasa sansekerta yang berarti buah atau hasil. Dalam hubungannya dengan Karmaphala maka kata phala berarti segala bentuk hasil yang diterima. Kita tahu bahwa segala akibat pasti ada sebabnya, maka demikian halnya dengan karma phala, segala perbuatan yang dilakukan cepat atau lambat pasti akan mendapatkan hasil yang setimpal.
Karmaphala berarti hasil atau buah yang diterima atas perbuatan yang dilakukan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja. Hokum karmaphala adalah hokum yang bersifat universal, artinya bahwa kharmaphala akan diterima oleh siapapun dan tidak memandang hubungan keluarga maupun status social dalam masyarakat.
Tujuh loka yang berada di alam atas yaitu bhuloka (bumi), bhuvarloka, svarloka, atau svarga (sorga), maharloka, janaloka, tapoloka, dan satyaloka. Di alam atas hidup para manusia dan para dewa. Orang-orang yang berdosa (berbuat baik) akan menikmati sorga. Tujuh loka yang berada di alam bawah, yaitu: mahatala, hematala, rasatala, talatala, sutala, atala, dan purana. Di alam bawah hidup para raksasa dan naga. Neraka banyak terdapat di alam semesta ini. Orang-orang yang berdosa (berbuat tidak baik) akan dihukum di neraka.
2.3 Ajaran Acara Agama Dalam Lingga Purana
2.2.1  Tempat Suci
Tempat suci Hindu adalah suatu tempat maupun bangunan yang dikeramatkan oleh umat Hindu atau tepat persembahyangan bagi umat Hindu untuk memuja Brahman beserta aspek-aspeknya. Bangunan suci Hindu umumnya menyerupai replika sebuah gunung, karena menurut filsafat Hindu, gunung melambangkan alam semesta dengan ketiga bagiannya. Selain itu, gunung merupakan kediaman para Dewa, seperti misalnya gunung Kailasha yang dipercaya sebagai kediaman Dewa Siwa. Selain menyerupai gunung, terdapat bangunan suci Hindu yang memiliki atap bertumpuk-tumpuk, dan di Indonesia dikenal dengan istilah Meru. Meru merupakan lambang dari lapisan alam, mulai dari alam terendah sampai alam tertinggi.
Dalam linga purana dijelaskan juga tentang tempat suci yang berada dikawasan Jambudvipa. Tepat dipusat Jambudvipa terdapat gunung yang bernama Sumeru atau Meru. Dan pada setiap sisi Sumeru terdapat banyak puncak. Gunung Sumeru sangat tinggi sehingga menyentuh matahari. Gunung ini dipenuhi dengan salju dan juga emas permata.
Banyak dewa-dewa yang tinggal digunung Sumeru. Amaravati tempat kediaman Indra terletak dibagian timur Sumeru. Kota itu dipenuhi dengan tempat-tempat yang indah, gerbangnya berhiaskan permata, dan pilar-pilar yang terbuat dari emas. Terdapat tangga yang terbuat dari kristal yang akan membawa kita ke kolam yang sangat jernih. Kolam tersebut berisikan teratai disetiap tempat.
Pada sudut lain Sumeru adalah kediaman dari dewa api Agni. Tempat ini dikenal dengan nama Tejasvini. Tempat kediaman dewa Yama bernama Vaivaspati yang terdapat diselatan. Juga terdapat kota lain tempat kediaman dewa-dewa lainnya. Terdapat tempat khusus bagi kendaraan para dewa yang dikenal dengan nama vimana.
Yang paling menakjubkan dari semua kediaman itu adalah kediaman Dewa Brahma yang terdapat ditengah Sumeru. Sebuah sungai yang bernama Jambu melewati kota ini. Dari nama sungai inilah nama Jambudvipa didapatkan.
Kota Varanasi merupakan kota yang teramat suci karena Siva tinggal dikota ini bersama Parvati dan Ganesa. Varanasi adalah salah satu dari enam tirtha mulia yang ada dibumi. Lima kota lainnya adalah Kuruksetra, Sriparvata, Mahalaya, Tungesvara, dan Kedara.
2.2.2  Upacara Panca Yadnya
Yadnya berasal dari Bahasa Sansekerta dari akar kata “Yaj” yang artinya memuja. Secara etimologi pengertian Yadnya adalah korban suci secara tulus ikhlas dalam rangka memuja Hyang Widhi.
Pada dasarnya Yadnya adalah penyangga dunia dan alam semesta, karena alam dan manusia diciptakan oleh Hyang Widhi melalui Yadnya. Pada masa srsti yaitu penciptaan alam Hyang Hidhi dalam kondisi Nirguna Brahma ( Tuhan dalam wujud tanpa sifat ) melakukan Tapa menjadikan diri beliau Saguna Brahma ( Tuhan dalam wujud sifat Purusha dan Pradhana ). Dari proses awal ini jelas bahwa awal penciptaan awal dilakukan Yadnya yaitu pengorbanan diri Hyang Widhi dari Nirguna Brahma menjadi Saguna Brahma . Selanjutnya semua alam diciptakan secara evolusi melalui Yadnya.
Dalam linga purna menjelaskan tentang Yajna Daksa, yaitu tentang anak perempuan Daksa adalah Sati dan ia menikah dengan dewa Siva. Daksa adalah mertua dari dewa siva.
Pada suatu hari, Daksa menyelenggarakan sebuah yajna (upacara kurban). Ia mengundang semua dewa dan para rsi. Akan tetapi, ia tidak mengundang dewa Siva. Sati menghadiri upacara tersebut dan merasa sangat benci terhadap ayahnya. Kemudian ia menerjunkan dirinya kedalam api yajna.
Dewa siva sangat sedih. Ia kemudian mengirim Virabhadra untuk menghancurkan yajna tersebut. Upacara itu dilaksanakan dikaki gunung Himalaya, tepatnya didesa Kankhala. Virabhadra mengancurkan upacara tersebut. Ia membunuh banyak dewa dan para rsi serta melempar tubuh mereka kedalam sungai ganga.
Dewa Brahma merasa ngeri melihat semua kejadian ini dan ia mulai memuja Virabhadra dan Dewa Siva. Dewa Siva senang dan memaafkan kesalahan para dewa dan para rsi. Segala sesuatunya kembali seperti semula sebelum Virabhadra menghancurkan tempat itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Purana adalah naskah suci yang digubah beberapa ratus tahun yang lalu. Banyak upacara dan cerita yang membentuk bagian yang integral dalam agama Hindu. Kebanyakan cerita ini dapat ditemukan dalam kitab – kitab Purana. Bersamaan dengan dua cerita lainnya yaitu Ramayana dan Mahabharata, Purana juga dibaca, dihormati dan dipercaya.
Ada delapan belas Purana utama yang disebut sebagai mahapurana. Kata maha berarti utama. disamping itu juga terdapat beberapa purana tambahan atau minor atau upapurana. Kata upa berarti kecil atau tambahan. Upapurana terdiri dari delapan belas purana.
Linga Purana menduduki urutan kesebelas, namun tidak berarti Linga Puranan berada di urutan kesebelas dalam penyusunannya, ada banyak ritual upacara dalam naskah ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa Linga Puranan disusun ketika Agama Hindu telah menjadi semakin Ritualistik. Tahun penyusunannya mungkin berkisar antara 800-900 sebelum masehi. Bahasa linga Purana ini cukup sulit untuk dimengerti, komposisi naskah juga tidak seindah Purana lain, kalimatnya masih berliku2 hingga memahaminya relatif sulit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini