Puja Tri Sandhya (Pengertian dan Sikap Tri Sandhya)
14
Nov
Pengertian dan Sikap Tri Sandhya
Mengapakah kita wajib melaksanakan puja
Tri Sandhya, apakah sumber ajaran ini dan bagaimana kita bila tidak
mampu melaksanakan hal tersebut? Apakah harus melaksanakan puja Tri
Sandhya itu di tempat-tempat yang di pandang suci, bagaimanakah apa
boleh dilaksanakan di kantor atau tempat-tempat pertemuan dan lain-lain?
Muncul pertanyaan sebagai akibat belum memasyarakatnya Tri Sandhya
secara baik.
Tri Sandhya adalah sembahyang yang wajib
dilakukan oleh setiap umat Hindu tiga kali dalam sehari. Sembahyang
rutin ini diamanatkan dalam kitab suci Weda dan sudah dilaksanakan sejak
ribuan tahun yang lalu. Bila kita tidak tekun melaksanakan Tri Sandhya
berarti kita tidak secara sungguh-sungguh mengamalkan ajaran yang
terkandung dalam kitab suci Weda. Banyak hambatan yang dialami mengapa
seseorang tidak tekun melaksanakan puja atau sembahyang Tri Sandhya,
beberapa hambatan tersebut di antaranya: karena kurang memahami makna
yang terkandung dalam melaksanakan puja Tri Sandhya, karena enggan,
sebab belum dibiasakan (abhyasa), bahasanya tidak atau kurang dipahami dan sebagainya.
Untuk mengatasi berbagai hambatan
tersebut di atas, pertama-tama tumbuhkan tekad bahwa kita mampu untuk
melaksanakan hal itu. Selanjutnya pelajari dan hafalkan tiap-tiap kata
dalam mantram yang digunakan dalam Tri Sandhya. Usaha lainnya adalah
dalami maknanya seperti telah kami ungkapkan di atas, mantra Tri
Sandhya, khususnya mantram Gayatri, di samping fungsi utamanya sebagai
stava, stotra atau puja, maka fungsinya sebagai kawaca dan panjara
mendorong kita untuk menuju keselamatan jiwa dan raga. Sebagai
dimaklumi, di dalam mantram-mantram yang digunakan untuk puja Tri
Sandhya, terdapat sebuah mantram yang sangat disucikan oleh umat Hindu,
yakni mantram Gayatri, mantram pertama dari 6 bait mantram Tri Sandhya
dan seperti diamanatkan dalam kitab Atharvaveda, mantram Gayatri atau
Gayatri mantram adalah Vedamata, ibu dari semua mantram Weda yang dapat memberikan perlindungan, keselamatan, kegembiraan dan kebahagiaan.
Penelitian ilmiah di Madras (India)
maupun di Amerika menunjukkan bahwa orang yang tekun mengucapkan Gayatri
mantram, butir-butir darah butih dan merahnya semakin segar dan
bertambah jumlahnya. Mantram ini dapat digunakkan sebagai mantram Japa,
yakni diulang-ulang beberapa kali dengan khusuk untuk permohonan
tertentu.
Bagaimana sikap kita dalam melaksanakan
Tri Sandhya? Pertanyaan ini sering muncul di kalangan umat yang masih
awam. Demikian pula bila seorang dalam keadaan cuntaka (karena
kematian dan sebagainya) termasuk pula seorang wanita yang setiap bulan
berhalangan (menstruasi) apakah boleh melaksanakan Tri Sandhya?
Sampai saat ini masih terjadi kesimpangan
siuran, terutama sikap tangan dikalangan umat dalam melaksanakan puja
Tri Sandhya. Ada yang mencakupkan tangan seperti mengucapkan panganjali (salam pertemuan/mulai persidangan), ada yang melakukannya dengan sikap tangan dewapratistha (seperti seorang pandita memegang dupa atau bunga) dan ada juga yang amustikarana,
yakni sikap tangan kanan mengepal ditutup dengan jari-jari tangan kiri
dan kedua ibu jari bertemu ditempatkan menempel di depan dada.
Berdasarkan ketetapan Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia
tahun 1990, maka sikap tangan yang digunakan untuk melaksanakan puja Tri
Sandhya adalah sikap tangan yang terakhir di atas, yakni amustikarana. Dengan demikian kerancuan penggunaan sikap tangan, berangsur-angsur telah mulai menampakkan keseragaman.
Di samping sikap tangan, sikap lainnya
adalah badan dan tulang punggung diusahakan selalu tegak. Dalam keadaan
tidur terlentang, misalnya dalam keadaan sakit, diusahakan pula posisi
tulang punggung tetap datar di atas tempat terlentang. Sikap tangan juga
diusahakan amusti-karana seperti tersebut di atas. Hal yang
patut selalu diingat adalah dalam melaksanakan puja Tri Sandhya maupun
sembahyang adalah sikap bathin, yakni penuh dengan sraddha,
keyakinan yang mantap dilandasi dengan ketulusan hati, sesuai dengan
makna bhakti seperti telah diuraikan pada bagian awal tulisan ini.
Setiap melaksanakan puja Tri Sandhya atau sembahyang, hendaknya selalu
didahului dengan asucilaksana, yakni menyucikan diri dan berpakaian yang bersih dan wajar dipakai untuk sembahyang.
Selanjutnya dalam keadaan cuntaka,
termasuk pula seorang wanita dalam keadaan berhalangan, sebaiknya tidak
melaksanakan puja Tri Sandhya, persembahyangan atau mengucapkan
mantra-mantra sebagai doa, namun cukup memanjatkan doa dalam bahasa hati
dan tidak dibenarkan mengunjungi tempat-tempat pemujaan atau yang
dipandang suci selama dalam keadaan cuntaka. Mengakhiri masa cuntaka
hendaknya selalu diikuti dengan “mandi besar” (mandi dan berkeramas),
seperti setelah suami-istri melakukan tugas memenuhi kepuasan seksual.
Setelah mandi besar, kemudian dilanjutkan dengan sembahyang dan memohon
air suci (tirtha).
Kalo bisa trysandia baru belajar genana caranya. Maf kurang tau
BalasHapus