Pengertian dan Fungsi Pura
PENGERTIAN DAN FUNGSI PURA / PARHYANGAN*
Prof. I Made Titib Ph. D
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
“
Para dewa tidak hanya berkenaan untuk turun dan tinggal di
Tìrtha (Patìrthan), di tepi sungai, dan danau, tetapi juga di tepi
pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai, dan kuala (muara
sungai), di puncak-puncak gunung atau bukit-bukit, di lereng-lereng
pegunungan, di hutan, di semak belukar dan kebun atau taman-taman, dekat
tempat-tempat yang dirakhmati atau pertapaan, di desa-desa, kota-kota
dan di tempat-tempat lain yang membahagiakan” Tantra Samuccaya I.1.28
Pendahuluan
Pura atau kahyangan dibangun di tempat-tempat yang dianggap suci.
Tempat-tempat yang dianggap suci disebutkan pada bagian awal dari
tulisan ini (Tantra Samuccaya I.1.28), yakni di Tìrtha atau Patìrthan,
di tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua atau lebih
sungai-sungai yang di Bali disebut Campuhan, sedang di India disebut
dengan nama Saògam yang mengandung makna sama, yakni bertemunya dua
sungai atau lebih. Di muara sungai, di puncak-puncak gunung atau
bukit-bukit, di lereng-lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa,
di kota atau pusat-pusat kota dan di tempat-tempat lain yang dapat
memberikan suasana bahagia. Dengan memperhatikan kutipan di atas, maka
tiada halangan untuk membangun sebuah pura atau kahyangan di mana saja
di tempat-tempat yang dipandang suci. Ada suatu yang unik, yakni tempat
yang dipandang indah dan memiliki getaran spiritual yang tinggi adalah
tempat yang disebut ‘
hyang-hyang ning sagara giri‘ atau ‘
sagara-giri adomukha‘,
tempat bila di tepi pantai terlihat puncak-pucak gunung yang indah,
sebaliknya bila berdiri di pegunungan, tampak pantai-pantai dengan
gulung-gemulungnya ombak yang memukau. Tempat-tempat yang disebut ‘
hyang-hyang ning sagara giri‘
ini hampir dijumpai di mana saja di seantero Bali, karena pulau Bali
tidak begitu luas dan ditengah-tengahnya membentang pegunungan vulkanik
yang beberapa di antaranya masih aktif.
Di
samping itu, di pulau yang kecil ini terdapat 4 buah danau yang besar
dan kecil dan ratusan mata air yang jernih, yang menyegarkan dan
mempesona siapa saja yang memiliki kepekaan dan apresiasi terhadap
keindahan. Tidak mengherankan leluhur umat Hindu di Bali membangun pura
di mana saja hampir di seluruh Bali dan Bernet Kempers, seofrang akhli
purbakala memberi julukan pulau yang kecil ini sebagai “
Land of One Thousand Temples“,pulau
dengan seribu pura (1977: 73). Di samping itu berbagai julukan telah
diberikan kepada pulau yang memikat ini di antaranya adalah: ————————-
“
The Last Paradise on Earth“(sorga terakhir di bumi), “
The Morning of the World” (paginya dunia),”
The Island of Gods“(pulau dewata), “
The Intresting Peacefull Island”
(pulau penuh kedamaian yang sangat mempesona). Kepopuleran pulau Bali
bukanlah merupakan sesuatu yang baru, sebab sejak zaman purbakala pulau
ini sudah dikenal di manca negara. Keterangan tentang kemuliaan gunung
Agung, yang di Bali disebut juga “
To Langkir“(yang menjulang tinggi)atau di dalam bahasa Sanskåta disebut “
Udaya Parvata” (gunung yang tinggi) diyakini sebagai bagian dari pegunungan Mahàmeru (yang pada zaman dahulu juga disebut
Úiúira Parvata) dan nama ini sudah diungkapkan di dalam susastra Sanskåta Ràmàyaóa, pada bagian Kiûkióðha Kànda, karya agung
àdikavi mahàrûi Vàlmìki, sebagai
sthana
para dewa (Misra,1989: VI) dan bila melihat peninggalan purbakala di
daerah Goa Gajah dan Gunung Kawi, di Kabupaten Gianyar, maka jelaslah
pada zaman dahulu kehidupan keagamaan masyarakat Bali sudah sedemikian
mantap.
Pengertian Pura
Tuhan Yang Maha Esa dan para devatà bersthana di kahyangan atau
svarga-loka, diiringi oleh para Úiddha, Vidyàdhara-Vidyàdharì. Demikian
masing-masing devatà diyakini memiliki Vàhana (kendaraan) berupa
binatang-binatang mitos seperti lembu, singa, angsa, garuda dan
lain-lain dan sthana-Nya yang abadi adalah kahyangan atau sorga yang
tempatnya jauh di atas angkasa,
“vyomàntara”, yang oleh masyarakat Bali disebut “
luhuring àkàúa“.
Pada waktu-waktu upacara seperti piodalan dan upacara lainnya, Tuhan
Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi dan para devatà serta para roh suci
leluhur dimohon hadir turun ke dunia untuk bersthana di sthana yang
telah disediakan untuk-Nya yang disebut pura dengan aneka nama, jenis
serta fungsi dari bangunan palinggihnya. Pada upacara tertentu seperti
karya agung “
mamungkah“,”
ngalinggihang“, “
ngusabha”
dan sebagainya, bagi para devatà yang tidak memiliki sthana khusus di
sebuah pura, dibuatkanlah sthana sementara untuk-Nya yang disebut “
dangsil“, seperti meru yang sifatnya sementara terbuat dari bambu, memakai atap janur atau daun aren.
Pura seperti halnya meru atau candi (dalam pengertian peninggalan
purbakala kini di Jawa) merupakan simbol dari kosmos atau alam sorga
(kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh Dr. Soekmono (1974: 242) pada
akhir kesimpulan disertasinya yang menyatakan bahwa candi bukanlah
sebagai makam, maka terbukalah suatu perspektif baru yang menempatkan
candi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat pemujaan/pura).
Secara sinkronis candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni
bangunan lainnya yang sejenis dan sejaman, dan secara diakronis candi
tidak lagi berdiri di luar garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia.
Kesimpulan Soekmono ini tentunya telah menghapus pandangan yang keliru
selama ini yang memandang bahwa candi di Jawa ataupun pura di Bali
sebagai tempat pemakaman para raja, melainkan sebagian pura di Bali
adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat berjasa yang kini
umum disebut padharman. Untuk mendukung bahwa pura atau tempat pemujaan
adalah replika kahyangan dapat dilihat dari bentuk (struktur), relief,
gambar dan ornament dari sebuah pura atau candi. Pada bangunan suci
seperti candi di Jawa kita menyaksikan semua gambar, relief atau
hiasannya menggambarkan mahluk-mahluk sorga, seperti arca-arca devatà,
vahana devatà, pohon-pohon sorga (parijata, dan lain-lain), juga
mahluk-mahluk suci seperti Vidàdhara-Vidyàdharì dan Kinara-Kinarì, yakni
seniman sorga, dan lain-lain.
Sorga atau kahyangan digambarkan berada di puncak gunung Mahameru,
oleh karena itu gambaran candi atau pura merupakan replika dari gunung
Mahameru tersebut. penelitian Soekmono maupun tulian Drs. Sudiman
tentang candi Lorojongrang (1969: 26) memperkuat keyakinan ini. Berbagai
sumber ajaran Hindu sejak kitab suci Veda sampai susastra Hindu
mengungkapkan tentang kahyangan, pura atau mandira, untuk itu kami
kutipkan penjelasan tentang hal tersebut, di antaranya sebagai berikut:
Pràsàdaý yacchiva úaktyàtmakaý tacchaktyantaiá syàdvisudhàdyaistu tatvaiá, úaivì mùrtiá khalu devàlayàkhyetyasmàd dhyeyà prathamaý càbhipùjyà. Ìúànaúivagurudevapaddhati,
III.12.16.
(Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Úiva dan Úakti dan
Kekuatan/Prinsip Dasar dan segala Menifestasi atau Wujud-Nya, dari
element hakekat yang pokok, Påthivì sampai kepada Úakti-Nya. Wujud
konkrit (materi) Sang Hyang Úiva merupakan sthana Sang Hyang Vidhi.
Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya)
Di samping hal tersebut, dengan memperhatikan pula praktek upacara
yang masih tetap hidup dan terpelihara di Bali maupun di India, yakni
pada saat menjelang upacara
piodalan (di India disebut
abhiseka), para devatà dimohon turun ke bumi, di Bali disebut “
nuntun atau
nedunang Ida Bhaþþàra, di India disebut
avahana,
sampai upacara persembahyangan dan mengembalikannya kembali ke
kahyangan sthana-Nya yang abadi menunjukkan bahwa pura adalah replika
dari kahyangan atau sorga.
Demikian pula bila kita melihat struktur halaman pura menunjukkan
bahwa pura adalah juga melambangkan alam kosmos, jaba pisan adalah alam
bhumi (
bhùrloka), jaba tengah adalah
bhuvaáloka dan jeroan adalah
svaáloka atau sorga. Khusus pura Besakih secara keseluruhan melambangkan
saptaloka (
luhuring ambal-ambal) dan
saptapatala (
soring ambal-ambal
).
Tidak sembarangan tempat dapat dijadikan tempat untuk membangun pura,
dalam tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar) menyatakan tanah
yang layak dipakai adalah tanah yang berbau harum, yang “
gingsih“dan
tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempoat yang ideal untuk membangun
pura, adalah seperti disebutkan pada kutipan dari Bhaviûya Puràóa dan
Båhat Saýhità, yang secara sederhana disebut sebagai “
hyang-hyangning sàgara-giri“, atau “
sàgara-giri adumukha“, tempatnya tentu sangat indah disamping vibbrasi kesucian memancar pada lokasi yang ideal tersebut.
Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi
masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang
tidak begitu tua. Pada mulanya istilah pura yang berasal dari kata
Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti
menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata pura
untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata
kahyangan atau
hyang.
Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua ditemui di Bali,
disebutkan di dalamn prasasti Sukawana A I tahun 882 M (Goris, 1964:
56).
Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan…………………… ……….
sanghyang di Turuñan” yang artinya “
tempat suci di Turunyan“. Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa tahun ) disebutkan pemujaan kepada
Hyang Karimama, Hyang Api dan
Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk dewa Karimama, tempat suci untuk dewa api dan tempat suci untuk dewa Tanda.
Prasasti-prasasti tersebut diatas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe “
Yumu pakatahu”
yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa. Pada abad
ke X masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan raja
putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Dharma Udayana.
Sejak itu prasasti – prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga
kesusastraan-kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode
pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042M) datanglah Mpu Ràjakåta
yang menjabat
Senapati i Kuturandari Jawa Timur ke Bali dan
pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja Marakata yaitu adik
dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat “
parhyangan atau
kahyangan dewa
” di Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa
Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu
Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.
Mpu Kuturan mengajarkan membuat pura Sad Kahyangan Jagat Bali,
membuat kahyangan pura Caturlokapàla dan Kahyangan Rwabhineda di Bali.
Beliau juga memperbesar pura Besakih dan mendirikan palinggih
meru, gedong
dan lain-lainnya. Pada masing masing desa Pakraman dibangun Kahyangan
Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga
beliau mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis-jenis
upacara, jenis-jenis pedagingan palinggih dan sebagainya se bagaimana di
uraikan didalam lontar Devatàttwa.
Pada jaman Bali Kuna, dalam arti sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana-isatana raja disebut
karaton atau
kadaton.
Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan “……Úrì Danawaràja akadatwan
ing Balingkang……..”. Memang ada kata pura dijumpai di dalam prasasti
Bali Kuna tetapi kata pura itu belum berarti tempat suci melainkan
berarti
kotaatau
pasar, seperti kata
wijayapuraartinya pasaran
Wijaya
.
Pemerintahan dinasti Úrì Kåûóa Kapakisan di Bali membawa tradisi yang
berlaku di Majapahit. Kitab Nàgarakåtàgama 73.3 menyebutkan bahwa apa
yang berlaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Úrì
Kåûóa Kapakisan.
Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istanaraja bukan lagi disebut
karatonmelainkan disebut
pura.Kalau
di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripurayang berarti rumahnya
Gajah Mada, maka karaton Dalem di Samprangan disebut
Linggarsapura.Karatonnya diGelgel disebut Suwecapuradan karatonnya di
Klungkung disebut Smarapura.
Rupa-rupanya penggunaan
kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti
Dalem di Klungkung di samping juga istilah kahyangan masih dipakai.
Dalam hubungan inilalu kata pura yang berarti istana rajaatau rumah
pembesar pada waktu itu diganti dengan kata
puri.
Pada periode pemerintahan Dalem Baturenggong di Gelgel (1460 – I 550 M
) datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk
mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau
pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya
peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Mpu Kuturan
ke paham-paham keagamaan yang diajarkan olch Mpu Kuturan yakni: antara
pemujaan dewa dengan pemujaan roh leluhur, sehingga dikenal adanya pura
untuk dewa dan pura untak roh suci leluhur yang sulit dibedakan secara
fisik(Ardana, 1988:20).
Demikian pula bentuk-bentuk palinggih, ada
meru dan
gedong untuk dewa dan
meru dan
gedong
untuk roh suci leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap
meru, misalnya ada meru untuk roh suci leluhur bertingkat 7 dan meru
untuk dewa bertingkat 3. Hal ini secara fisik sulit untuk dibedakan,
walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis
padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk
padmàsanauntuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggib pemujaan dewa serta roh suci leluhur.
Dalam perkembangan lebih lanjut kata
puradigunakan di samping kata
kahyanganatau
parhyangandcngan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan
bhaþàra atau
dewapitara
yaitu roh suci leluhur. Kendatipun demikian namun kini masih dijumpai
kata pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura atau
kota asem (bentuk Sanskertanisasi dari karang asem ).
Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang
tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai
latar belakang alam pikiran yang bcrasal dari masa yang amat tua.
Pangkalnya adalah kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap
arwah leluhur di samping juga pemujaan terhadap kekuatan alam yang maha
besar yang telah dikenalnya pada jaman
neolithikum, dan berkembang pada periode
megalithikum,sebelum kcbudayaan India datang di Indonesia.
Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk
punden berundak-undakyang
diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung,karena gunung itu
dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah.
Sistim
pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama
dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangan itu
juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan
lingkungan budaya Nusantara.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah,adalah relevan dengan
unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung (Mahameru ) sebagai alam
devatà yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai
alam arwah juga sebagai alam para dewa.
Bahkan dalam
proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan upacara keagamaan tertentu
(upacara penyucian) roh suci leluhurdapat mencapai tempat yang sama dan
dipuja bersama-sama dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang
lazimnya disebut dengan istilah
Àtmàúiddhadevatà.
Lebih lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur
kelihatan melemah bahkan seolah-olah tampak sebagai terdesak, namun
hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli tetap memegang
kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut
muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil dan
berkcmbang bersama – sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa
Penampilannya selalu terlihat pada sistim kepercayaan masyarakat Hindu
di Bali yang menempatkan secara bersama sama pemujaan roh leluhur
sebagai unsur kcbudayaan Indonesia asli dengan sistcm pemujaan dewa
manifcstasinya Hyang Widhi sebagai unsur kcbudayaan Hindu. Pentrapannya
antara lain tcrlihat pada konsepsi pura sebagai tempat pemujaan untuk
dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur
yang disebut bhatara. Hal ini membcrikan salah satu pengcrtian bahwa
Pura adalah simbul gunung (Mahameru) tempat pemujaan dcwa dan
bhaþþàra.
Pengelompokan Pura
Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat
suci untuk memuja Hyang Widhi/dewa dan bhaþàra, dapat dikelompokkan
berdasarkan fungsinya:
1). Pura yang berfungsi sebagai tcmpat untuk memuja Hyang Widhi, para
devatà. 2). Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja bhaþàra
yaitu roh suci leluhur.
Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas,
bukan tidak mungkin terdapat pula pura yang berfungsi gandayaitu sclain
untuk memuja Hyang Widhi/dewa juga untuk memuja bhaþàra. Hal itu di
mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa sctelah melalui upacara
penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan
úiddhadevatà(telah memasuki alam devatà ) dan disebut bhaþàra.
Fungsi pura tcrscbut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri
(kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok
masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti: ikatan sosial,
politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran). Ikatan sosial antara
lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan
pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru), ikatan politik di
masa yang silam antara lain berdasarkan kepentingan penguasa dalam usaha
menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara
lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup
seperti bertani, nelayan , berdagang, nelayan dan lain-lainnya. Ikatan
geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih
lanjut.
Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut (Titib, 2003: 96-100), maka
terdapat beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut
berdasarkan atas karakter atau sifat kekhasannya adalah sebagai berikut.
1) Pura Umum
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi
dengan segala manifestasinya (dewa). Pura yang tergolong umum ini dipuja
oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat Bali.
Pura-pura yang tcrgolong mempunyai ciri-ciri tersebut adalah pura
Besakih, pura Batur, pura Caturlokapàla dan pura Sadkahyangan. Pura
lainnya yang juga tergolong pura umum adalah pura yang berfungsi sebagai
tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang pandita guru suci
atau Dang Guru.
Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada
hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang
Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut
åûiåóa. Pura
pura tersebut ini tergolong kedalam karakter yang disebut Dang Kahyangan
seperti: pura Rambut Siwi, pura Purancak, pura Pulaki, pura Ponjok
Batu, pura Sakenan, pura Úìlayukti, pura Lempuyang Madya dan
lain-lainnya. Pura-pura tersebut berkaitan dengan dharmayàtrà yang
dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha, paúraman Mpu Kuturan dan Mpu
Agnijaya karena peranannya sebagai Dang Guru.
Selain pura-pura yang dihubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke
dalam ciri Dang Kahyangan adalah pura-pura yang dihubungkan dengan pura
tempat pemujaan dari kerajaan yang pernah ada di Bali (Panitia
Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977: 10)
seperti pura Sakenan, yang merupakan pura kerajaan Kesiman, pura Taman
Ayun yang merupakan pura kerajaan Mengwi. Ada tanda-tanda bahwa
masing-masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya
mempunyai satu jenis pura, yaitu: pura Penataran yang terletak di ibu
kota kerajaan, pura puncak yang ter!etak di puncak bukit atau pegunungan
dan pura Segara yang terletak di tepi pantai laut. Pura-pura kerajaan
tersebut rupa-rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu: pura
gunung, pura pusat kerajaan dan pura laut. Pembagian mandala atas
gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos
menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup
dan dunia bawah atau chithonis.
2) Pura Teritorial
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah (teritorial) sebagai tempat
pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang
diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.
Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat
ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada
dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga, yaitu: pura
Desa, pura Puseh, pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.
Dengan lain perkataan, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur
mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama-nama kahyangan tiga ada
juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, pura Desa sering juga
disebut pura Bale Agung. Pura Puseh juga disebut pura Segara, bahkan
pura Puseh desa Besakih disebut pura Banua.
Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah pura Dalem yang memiliki
setra (kuburan).
Di samping itu banyak juga terdapat pura yang disebut Dalem, tetapi
bukan merupakan pura sebagai unsur Kahyangan Tiga di antaranya: pura
Dalem Maspahit, pura Dalem Canggu, pura Dalem Gagelang dan sebagainya
(Panitia Pemugaran Tempat- tempat bersejarah dan peninggalan Purbakala,
1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah pura yang bernama pura
Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan pura Kahyangan Tiga,
melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan pura Watukaru. Masih banyak
ada pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga
seperti pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan pura Besakih. Pura
Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan pura Luhur Uluwatu.
3) Pura Fungsional
Pura ini mempunyai karakter fungsional, umat panyiwinya terikat oleh
ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata
pencaharian bidup seperti: bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan
karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pemujaan
yang disebut pura Empelan yang sering juga disebut pura Bedugul atau
pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal pura
Ulun Carik, pura Masceti, pura Ulun Siwi dan pura Ulun Danu. Apabila
petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperd tersebut diatas,
maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut
pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya.
Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan
adanya ikatan pemujaan dalam wujud pura yang disebut pura Melanting.
Umumnya pura Melanting didirikan didalam pasar yang dipuja oleh para
pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.
4) Pura Kawitan
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan
wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis). Pura ini sering pula disebut
Padharman yang
merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari pura milik warga
atau pura klen. Dengan demikian mika pura Kawitan adalah tempat pemujaan
roh leluhur yang telah suci dari masing-masing warga atau kelompok
kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari
beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal
dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang
discbut pura Dadya sehingga mereka disebut
tunggal Dadya.
Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga
luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga
besar (extended family). Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami,
seorang istri dan anak-anak mereka yang belum kawin .
Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut
sanggah atau
marajan yang juga disebut
kamulan taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut
sanggah gede atau
pamarajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (
dadya) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat
dadya. Anggota kelompok kerabat tcrsebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut pura
paibon atau
pura panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu, ada yang menyebut pura
Batur (
Batur Klen), pura Penataran (
Penataran Klen) dan sebagainya. Didalam rontal Úiwàgama, disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat pura
panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan pura
lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat palinggih
Påtiwì dan setiap keluarga batih membuat palinggih
Kamulan yang
kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci. Tentang
pengelompokan pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap
aspek-aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984
ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :
1). Berdasarkan atas Fungsinya : (a).
Pura Jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawa-Nya (manifestasi-Nya). (b)
. Pura kawitan, yaitu pura sebagai tempat suci untuk memuja “Àtmàúiddhadevatà” (roh suci leluhur).
2). Berdasarkan atas Karakterisasi nya (a).
Pura Kahyangan Jagat, yaitu pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam aneka
prabhawa-Nya misalnya pura Sad Kahyangan dan pura Kahyangan Jagat. (b).
Pura Kahyangan Desa (teritorial )yaitu pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh desa Pakraman atau desa Adat. (c).
Pura Swagina (pura fungsional)yaitu pura yang penyungsungnya terikat oleh ikatan
swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti: pura Subak, Melanting dan sebagainya . (d).
Pura Kawitan,yaitu pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan
“wit” atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti:
sanggah, pamarajan, ibu, panti, dadya, batur, panataran, padharman dan yang sejenisnya.
Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Úraddhà atau Tatwa agama
Hindu yang berpokok pangkal konsepsi ketuhanan Yang Maha Esa dengan
berbagai manifestasi atau
prabhawa-Nya dan konsepsi
Àtman manunggal dengan
Brahman (
Àtmàúiddhadevatà)
menyebabkan timbulnya pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu
pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat di
samping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau klen tertentu saja.
Struktur Pura
Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu:
jabapura atau
jaba pisan (halaman luar),
jaba tengah (halaman tengah) dan
jeroan (halaman dalam). Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu:
jaba pisan (halaman luar) dan
jeroan
(halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman
(tingkatan) seperti pura Agung Besakih. Pembagian halaman pura ini,
didasarkan atas konsepsi macrocosmos (
bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari “
triloka“, yaitu:
bhùrloka (bumi),
bhuvaáloka (langit) dan
svaáloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat) melambangkan alam atas (
urdhaá) dan alam bawah (
adhaá), yaitu
àkàúa dan
påtivì.
Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan “
saptaloka” yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari:
bhùrloka, bhuvaáloka, svaáloka, mahàoka, janaloka, tapaloka dan
satyaloka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari “
ekabhuvana”
, yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian
halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian
horizontal sedang pembagian (
loka) pada palinggih-palinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan “
prakåti” (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal adalah simbolis “
puruûa” (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi
prakåti dengan
puruûa dalam struktur pura adalah merupakan simbolis dari pada “
Super natural power“.
Hal itulah yang menyebabkan orang orang dapat merasakan adanya getaran
spiritual atau super natural of power (Tuhan Yang Maha Esa ) dalam
sebuah pura.
Sebuah pura di kelilingi dengan tembok (bahasa Bali =
penyengker ) scbagai batas pekarangan yang disakralkan. Pada sudut-sudut itu dibuatlah “
padurakûa” (penyangga sudut) yang berfungsi menyangga sudut-sudut pekarangan tempat suci (
dikpàlaka ).
Sebagian telah dijelaskan di atas, pada umumnya pura-pura di Bali terbagi atas tiga halaman, yaitu yang pertama disebut
jabaan (
jaba pisan) atau halaman depan/luar, dan pada umumnya pada halaman ini terdapat bangunan berupa “
bale kulkul” (balai tempat kentongan digantung), “
bale wantilan” (semacam auditorium pementasan kesenian, “
bale pawaregan” (dapur) dan “
jineng” (lumbung). Halaman kedua disebut
jaba tengah (halaman tengah biasanya berisi bangunan “
bale agung” (balai panjang) dan “
bale pagongan” (balai tempat gamelan). Halaman yang ketiga disebut
jeroan
(halaman dalam), halaman ini termasuk halaman yang paling suci berisi
bangunan untuk Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa manifestasi-Nya. Di
antara
jeroan dan
jaba tengah biasanya dipisahkan oleh
candi kurung atau
kori agung.
Sebelum sampai ke halaman dalam (
jeroan) melalui
kori agung, terlebih dahulu harus memasuki
candi bentar, yakni pintu masuk pertama dari halaman luar (
jabaan atau
jaba pisan) ke halaman tengah (
jaba tengah).
Candi bentar ini adalah simbolis pecahnya gunung Kailaúa tempat bersemadhinya dewa Úiva. Di kiri dan kanan pintu masuk
candi bentar ini biasanya terdapat arca
Dvàrapala (patung penjaga pintu, dalam bahasa Bali disebut arca
pangapit lawang), berbentuk raksasa yang berfungsi sebagai pengawal pura terdepan. Pintu masuk kehalaman dalam (
jeroan) di samping disebut
kori agung, juga dinamakan
gelung agung. Kori Agung ini senantiasa tertutup dan baru dibuka bila ada upacara di pura. Umat
penyungsung(pemilik pura) tidak menggunakan
kori agung itu sebagai jalan keluar-masuk ke
jeroan, tetapi biasanya menggunakan jalan kecil yang biasanya disebut “
bebetelan“, terletak di sebelah kiri atau kanan
kori agung itu.
Pada bagian depan pintu masuk (
kori agung) juga terdapat arca Dvàrapàla yang biasanya bermotif arca dewa-dewa (seperti Pañca Devatà). Di atas atau di ambang pintu masuk
kori agung
terdapat hiasan kepala raksasa, yang pada pura atau candi di India
disebut Kìrttimukha, pada arnbang candi pintu masuk candi Jawa Tengah
discbut Kàla, pada ambang candi di Jawa Timur disebut Banaspati dan di
Bali discbut Bhoma. Cerita Bhoma atau Bhomàntaka (matinya Sang Bhoma )
dapat dijumpai dalam kakawin Bhomàntaka atau Bhomakawya. Bhoma adalah
putra dewa Viûóu dengan ibunya dewi Påtivì yang berusaha mengalahkan
sorga. Akhimya ia dibunuh oleh Viûóu sendiri. Kepalanya yang menyeringai
ini dipahatkan
pada kori agung. Mcnurut cerita Hindu, penempatan kepala raksasa Bhoma atau Kìrttimukha pada
kori agung
dimaksudkan supaya orang yang bermaksud jahat masuk kedalam pura,
dihalangi oleh kekuatan raksasa itu. Orang-orang yang berhati suci masuk
kedalam pura akan memperoleh rakhmat-Nya.
KeSimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa
pura adalah tempat suci, tempat untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa, para
devatà dan roh suci leluhur.
vaýúakarta) yang diyakini telah mencapai alam kesucian (
svarga).
Di samping itu pengelompokkan pura juga dibedakan atas pura umum, pura
teritorial, pura fungsional, dan pura kawitan (pura untuk memuja pendiri
dinasti).
Berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi Pura Jagat dan Pura Kawitan,
sedangkan berdasarkan karakternya dibedakan menjadi Pura Kahyangan
Jagat, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina (pura fungsional) dan Pura
Kawitan. Berdasarkan struktur pura dibedakan pura dengan 3 halaman
(Jeroan, Jaba Tengah dan Jaba Sisi) yang melambangkan Tribhuwana (Svah,
Bhuvah, dan Bhurloka), 2 halaman (Jeroan dan Jabaan) yang melambangkan
alam sorga dan bumi dan yang satu halaman saja yang melambangkan alam
sorga. Pura dengan 3 halaman pada umumnya untuk pura yang besar
(Kahyangan Jagat) sedangn pura dengan 2 atau satu halaman pada umumnya
utuk pura Kawitan atau pura keluarga.
Pura dibedakan berdasarkan pengelompokka peruntukannya, yaitu pura
yaitu pura sebagai tempat untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa atau para
devatà manifestasi-Nya dan pura untuk memuja roh suci para leluhur,
utamanya roh suci para mahàrûi (àchàrya) dan pendiri dinasti (
Daftar Pustaka
Ardana, I Gusti Gde. 1982.
Sejarah Perkembangan Hinduisme di Bali. Denpasar: tanpa penerbit. Kempers, A. J. Bernet. 1959.
Monumental Bali. Den Haag: Van Goor Zonen. Covarubias, Miguel. 1989.
Island of Bali. Kualalumpur: Oxford University Press. Goris, Roelof. 1954.
Prasasti Bali, I. Bandung: Masa Baru. Mishra,
Rajendra.1989.
Sejarah Kesusastraan Sanskåta, Denpasar: Publisher. Soekmono, 1974.
Candi Fungsi dan Pengertiannya.
Disertasi dalam Ilmu-ilmu Sastra Universitas Indonesia, 27 April 1974.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pandidikan
dan Kebudayaan. Sudiman. 1969.
Candi Lorojongrang. Yogyakarta:
Kanisius. Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama
Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita. ——– Seminar Kesatuan Tafsir
Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei
1984
Komentar
Posting Komentar