ESENSI & KONSEPSI PURA SEBAGAI TEMPAT SUCI DI BALI
ESENSI & KONSEPSI PURA SEBAGAI TEMPAT SUCI DI BALI
oleh :
Ida Bagus Gede Wiyana
I. ZAMAN PRASEJARAH
Sejak masa prasejarah di kalangan
masyarakat Bali ada anggapan bahwa tanah-tanah yang meninggi seperti
bukit ‘ngenjung’ dan gunung ’wukir, hulu, lingga’ merupakan tempat para
arwah leluhur yang telah suci. Oleh karena itu, bukit dan gunung
dianggap sebagai tempat suci dan keramat. Pada masa itu masyarakat Bali
tradisi mempunyai suatu kepercayaan, bahwa roh orang yang meninggal akan
hidup abadi di alam lain dengan tempat manusia hidup di bumi ini. Oleh
karena itu, dikenal adanya bermacam-macam cara merawat mayat agar rohnya
dapat hidup dengan layak di alam baka.
Adanya suatu kepercayaan, bahwa roh orang
yang meninggal bersemayam di tempat-tempat yang tinggi, bukit dan atau
di gunung, dapat diketahui melalui peninggalan masyarakat prasejarah
yang berhubungan dengan tradisi pemujaan nenek moyang ’roh para leluhur /
kawitan’ yang umumnya dijumpai di daerah dataran tinggi. Untuk
keperluan tersebut, masyarakat prasejarah mendirikan berbagai bangunan
yang terbuat dan tersusun dari batu-batu besar (megalitik), antara lain
berupa dolmen, menhir, bilik batu, kubur batu, punden berundak.
Di kepulauan Indonesia susunan batu-batu
dari tradisi megalitik yang didirikan di tempat-tempat tinggi dijumpai
di berbagai tempat. Di daerah dataran tinggi Pasemah (Sumatera Selatan)
didapatkan sejumlah dolmen, kubur batu, menhir, arca-arca sederhana yang
menggambarkan peninggalan nenek moyangnya. Di Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat didapatkan pula situs punden berundak dalam ukuran besar yang
dibangun di atas bukit Gunung Padang, punden itu mempunyai lima teras
bertingkat. Teras-teras tersebut dibentuk dengan menyusun balok-balok
batu yang panjangnya 60-100 cm. Masyarakat setempat sampai saat ini
masih menganggap, bahwa situs ini adalah tempat bersemayamnya para
“karuhun” atau nenek moyangnya.
Situs megalitik lainnya didapatkan pula
di daerah pegunungan Sulawesi Tengah, yaitu situs Lembah Palu, Bada,
Besoa, Napu. Selain itu, peninggalan tradisi megalitik banyak dijumpai
di daerah Nusa Tenggara Timur, terutama di pu1au Flores, Sumbawa dan
Timor. Peningga1an yang dijumpai pada tempat-tempat tersebut di atas
umumnya berbentuk lumpang batu, kalamba, arca bercorak megalitik, batu
dakon, bangunan teras berundak, peti kubur, dan lain-lain.
Di Bali, situs-situs masa prasejarah
terutama dari masa megalitik dijumpai pada dataran tinggi dan
perbukitan, seperti di desa Tenganan Pegringsingan (Karangasem), daerah
Kintamani (Bangli), Penebel (Tabanan), Keramas (Gianyar), Sembiran
(Singaraja), dan lain-lain.
Sesungguhnya tradisi megalitik tidak
semata-mata hanya menghormati dan memuja roh nenek moyang, walaupun
kultus terhadap roh nenek moyang terbukti sangat kuat terasakan dalam
tradisi megalitik. Pemujaan terhadap roh nenek moyang mempunyai tujuan
praktis yang dapat dirasakan langsung oleh para pemujanya. Dengan memuja
roh leluhur, para pendukung tradisi megalitik agaknya mengharapkan juga
perbaikan-perbaikan dalam kehidupan, seperti mengharapkan hasil panen
yang lebih baik, terhindar dari bencana alam atau wabah penyakit,
memperoleh keberuntungan dan pengungkapan rasa syukur. Segala keinginan
pendukung tradisi megalitik tersebut kemudian diupayakan untuk dapat
dipenuhi dengan cara memuja roh nenek moyang, karena mereka beranggapan,
roh nenek moyang yang telah hidup di dunia lain, diharapkan dapat
memberikan bantuan kepada manusia yang masih hidup. Oleh sebab itu, yang
tampak ditekankan dalam tradisi megalitik adalah konsep terhadap roh
nenek moyang.
II. MASUKNYA BUDAYA HINDU
Setelah pengaruh budaya India masuk ke
Bali pada sekitar abad VIII, Bali mulai menapaki masa sejarah. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya dokumen tertulis berupa prasasti-prasasti
pada tablet-tablet tanah liat di desa Pejeng, Tatiapi, dan Blahbatuh
di Kabupaten Gianyar. Tampaknya, pemujaan terhadap tempat-tempat tinggi
atau gunung suci tetap berlangsung terus, dan bahkan mendapat bentuk
baru yang dikuatkan dengan kisah-kisah tentang para dewa yang bersemayam
di puncak-puncak gunung. Sumber prasasti sering menyebut, bahwa gunung
dan bukit yang menjadi sthana para dewa di Bali, antara lain
bukit Humintang (prasasti Dausa, Pura Bukit Indrakila A II 983 Saka,
Gunung Bangkyang Sidi (sekarong Bangkyang Sidem), bukit Karimana, bukit
Tunggal, bukit atau Wukir Kulit Byu dan lain-lain. Gunung dan bukit
-bukit itu, beberapa di antaranya masih dapat dikenali, antara lain
ialah bukit Karimana terdapat di sebuah desa Sidem Bunut, Bangli, tempat
dibangunnya Pura Kehen, Bukit Tunggal yang kini disebut Gunung
Sinunggal terdapat di wilayah desa Tajun, Kabupaten Buleleng. Dan di
atas gunung itu terdapat sebuah pura yang disebut Pura Gunung Sinunggal.
Dan bukit Kulit Byu sekarang disebut Gunung Abang (Pura Tuluk Byu), di
atas desa Abang, Kecamatan Kintamani, Bangli.
Adapun nama-nama para dewa yang
bersernayam di puncak gunung atau puncak bukit itu tidak disebutkan
secara jelas di dalam prasasti-prasasti Bali Kuno. Tidak disebutkannya
nama-nama dewa itu kemungkinan besar karena kepercayaan masyarakat pada
masa itu menganggap bahwa menyebut nama-nama dewa sangat berdosa bahkan
bisa kena kutukan. Dengan kata lain, penyebutan nama dewa sangat
ditabukan dan dianggap sebagai pantangan. Di dalam sumber-sumber
prasasti Bali Kuno biasanya yang disebut hanya nama-nama gelarnya,
seperti hyang, da hyang, ra hyang, sang hyang, dan bhatara. sebagai
contoh, ialah Hyang Bukit Sidi artinya “dewa atau bhatara yang
bersemayam di puncak bukit Sidi”, demikian seterusnya. Kecuali Hyang
Bukit Tunggal dapat diketahui nama dewanya, berdasarkan prasasti Abang
Pura Batur, bahwa yang bersemayam di puncak boot Tunggal adalah Hyang
Binakaya Hyang Binakaya sinonim dengan Sang Hyang Sad Winakaya (yang
sering disebut-sebut dalam bagian kutukan prasasti), yakni Sang Hyang
Gana atau Bhatara Ganesa Binakaya sampai sekarong masih tersimpan di
dalam Pura Bukit Tunggal yang selalu dipuja setiap ada hari upacara di
dalam pura tersebut.
Demikian pula, Sang Hyang Wukir Byu.
Menurut prasasti Pura Batur Desa Abang, dahulu di atas bukit Tuluk Byu
terdapat sebuah pura. Di dalam pura tersebut terdapat beberapa buah
bangunan pelinggih dan juga sebuah tarub, yaitu semacam balai wantilan
atau balai terbuka untuk tempat sabungan ayam yang dilakukan dalam
rangkaian upacara di dalam pura tersebut. Dalam prasasti itu disebutkan
bahwa dewa yang bersemayam di dalam pura itu adalah Bhatara Bayu.
Selanjutnya pada tahun 1011 Masehi pada masa pemerintahan raja Udayana
Warmadewa tempat suci tersebut diperluas dan diperbaiki. Disebutkan pula
bahwa masyarakat dari desa-desa di pinggir Danau Batur (winkang ranu),
yakni desa Kedisan, Bwahan, Abang, Trunyan dan Songan berduyun-duyun
datang ke puncak Bukit Byu guna menunaikan kewajiban, yakni
bersembahyang. Di dalam prasasti tersebut “madewasraya I sanghyang wukir kulit byu” artinya “bersembahyang kehadapan Ida Bhatara yang bersemayam di Bukit Byu.”
Kemudian dari sumber-sumber lontar, dan
babad diketahui pula sejumlah nama-nama gunung yang dianggap suci tempat
bersemayan para dewa. Gunung-gunung itu, antara lain Gunung Lempuyang
(Karangasem) tempat bersemayam dewa atau Bhatara Genijaya, Gunung
Beratan (Tabanan) tempat bersemayam Bhatara Watukaru, Gunung Mangu
(Badung) tempat bersemayam Bhatara Danawa, Gunung Andakasa tempat
bersemayam Bhatara Hyang Tugu dan Gunung Agung (Karangasem) tempat
bersemayam Bhatara Purnajaya. Jawa pada sekitar abad VIII sudah dikenal
adanya penghormatan terhadap dewa Siwa (lingga) dan temyata dikenal pula
di pulau Bali. Puluhan bahkan ratusan lingga dijumpai pada tempat
-tempat suci yaitu pura yang tersebar di seluruh pulau Bali. Peninggalan
purbakala berupa lingga yang ditemukan di Pura Tegeh Koripan di Gunung
Penulisan, Goa Gajah, di Penulisan, Pura Kedarman di Kutri, Pura
Penataran Sasih di Pejeng dan pura Tirtha Empul di Tampaksiring, ada1ah
sebagian kecil dari keseluruhan yang ada. Sementara itu, keberadaan
agama Hindu dan Budha pada masa Bali Kuno (abad VIII – XIV) tidak perlu
disangsikan. Pengaruh agama Budha di Bali telah terlihat pada awal masa
Bali Kuno, yakni sekitar abad VIII dan bukti pengaruh agama Hindu
berasal dari kira-kira setengah abad kemudian. Dewa-dewa utama agama
Hindu, yakni Trimurti, telah dipuja pada masa itu. Pernyataan namasiwaya
namobuddhaya yang tersurat dalam prasasti Landih A menegaskan bahwa
raja Jayasakti bukan saja bakti kepada dewa Siwa tetapi juga kepada
Budha. Ungkapan yang menyatakan bahwa raja Anak Wungsu laksana Harimurti
sebagaimana terbaca dalam prasasti Dawan perlu pula dikemukakan di
sini. Kata murti secara harfiah berarti “perwujudan” dan hari adalah
nama lain untuk dewa Wisnu. Ungkapan itu bukan berarti bahwa raja Anak
Wungsu sebagai penganut sekte Waisnawa. Namun tampaknya lebih tepat jika
ungkapan itu dipandang sebagai petunjuk bahwa Anak Wungsu menyadari
dirinya sebagai raja yang berkewajiban melindungi dan memakmurkan negara
serta rakyatnya, seperti halnya dewa Wisnu yang berfungsi sebagai
pelindung dunia beserta segenap isinya.
Mengenai ungkapan yang mengacu pada dewa
Brahma, sampai saat ini belum ditemukan da1am sumber-sumber prasasti.
Namun demikian, temuan arca dewa Brahma, arca Catur Muka yang berasal
dari masa Bali Kuno membuktikan bahwa dewa tersebut te1ah dikenal dan
dipuj a pada waktu itu. Demikian juga temuan arca-arca Siwa dan Wisnu di
beberapa tempat di Bali memperkuat pendapat bahwa dewa Trimurti telah
mendapat posisi tinggi sebagai sarana pemujaan.
Da1am perkembangan selanjutnya, penduduk
makin lama makin bertambah banyak. Karena kepadatan penduduk, banyak
penduduk yang semula tinggal dekat tempat-tempat suci pergi ke tempat
lain yang agak jauh. Perpindahan ini mungkin disebabkan oleh karena
mencari penghidupan yang baru atau karena desanya dirasa tidak aman,
sering terjadi kerusuhan dan perampokan seperti ha1nya desa Ju1ah pada
sekitar abad XI, sebagaimana diberitakan dalam prasasti Sembiran A IV.
Pada tempat yang baru ini, mereka membuat suatu bangunan yang sifatnya
sementara. Bangunan ini dibuat dari ”turus pohon dapdap” sebagai
tiangnya dan dibuatkan sebuah ruangan dengan balai-balai yang dibuat
dari bambu untuk tempat me1etakkan sajian. Bangunan suci jenis ini
disebut ”turus lumbung”.
Turus lumbung mengandung arti kias “melindungi dan menghidupi pemujanya”. Turus dapdap merupakan tameng atau perisai,
yakni alat untuk melindungi diri ; dan lumbung, yakni tempat untuk
menyimpan padi untuk penghidupan. Bangunan ini sifatnya sementara yang
nantinya akan diganti dengan bangunan yang agak permanen menurut
kemampuan penghuninya. Setelah penghuninya agak mampu, barulah mereka
membuat bangunan untuk mengganti turus lumbung itu. Bangunan pelinggih
ini dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (me-rong
tunggal) yang digunakan untuk tempat sajian. Bangunan rong tunggal
inilah yang disebut ” kemulan atau sanggah kemulan”.
Peninggalan-peninggalan bangunan ini dijumpai di desa-desa kuno di
Bali, seperti di Julah, Sembiran, Lateng, Dausa, dan tempat kuno
lainnya.
Lama kelamaan oleh karena kebudayaan manusia makin maju, maka dalam perkembangan sejarah bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (merong dua). Dalam perkembangan selanjutnya bangunan rong dua
berkembang menjadi Bali yang beragama Hindu. Bangunan seperti ini
merupakan tempat untuk menghormati atau memuja leluhur-leluhur mereka
yang telah disucikan. Selanjutnya, dalam perkembangan kemudian, bangunan
yang memakai ruangan tiga (rong telu) disesuaikan dengan
konsep Trimurti yang terdiri dari tiga dewa, yakni Brahma, Wisnu, dan
Iswara. Ketiga dewa ini merupakan perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi
(Tuhan Yang Mahaesa), yang masing-masing berfungsi sebagai dewa
pencipta, pemelihara dan pemralina. Kesatuan ketiga dewa inilah disebut
dengan Sang Hyang Trimurti atau Tri Tunggal. Pengaruh konsep Trimurti
inilah menyebabkan bangunan rong telu berfungsi ganda. Pertama, untuk
tempat memuja arwah leluhur yang telah suci, dan yang kedua untuk memuja
Sang Hyang Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu dan Iswara.
Sanggah Kemulan ini dipuja hanya oleh
suatu keluarga sekelompok kecil. Kemudian apabila keluarga kecil sudah
membiak menjadi beberapa kepala keluarga, maka mereka mendirikan
beberapa buah bangunan/pelinggih untuk melengkapi bangunan yang telah
ada di dalam sanggah pemujaannya. Bangunan-bangunan yang baru ini
digunakan untuk tempat pemujaan roh-roh suci dari orang-orang yang
dianggap telah berjasa, sesuai dengan pelinggih-pelinggih yang terdapat
di dalam bangunan suci asalnya. Pelinggih-pelinggih yang baru itu
disejajarkan tempatnya dengan bangunan suci asalnya. Pelinggih-pelinggih
yang baru disejajarkan tempatnya dengan bangunan kemulan, sehingga
keseluruhannya disebut “sanggah pamerajan “. Bangunan-bangunan baru itu
sangat bervariasi, tetapi pada umumnya terdiri dari bangunan menjangan seluang, bangunan gedong, sanggar agung, bangunan berkerucut, bangunan saka ulu gempel, dan bangunan taksu.
Untuk tempat pertemuan Ida Bhatara- Bhatari yang berlangsung pada setiap ada upacara di sanggah pamerajan,
mereka membuat lagi bangunan balai-balai yang disebut balai piyasan,
yakni balai untuk Bhatara-Bhatari berhias. Walaupun sudah mendirikan sanggah kemulan,
mereka juga memuja dewa-dewa yang ada di dalam tempat suci asalnya.
Pemujaan ini dilakukan pada setiap adanya upacara dalam tempat suci
tersebut. Untuk menghemat biaya dan untuk memudahkan jalan
persembahyangan, dewa-dewa yang bersemayam di tempat suci asalnya
dibuatkan pelinggih dalam sanggah pamrajan yang bam itu. Karena demikian, maka tidak mengherankan apabila pelinggih-pelinggih di dalam sanggah pamerajan tidak tetap jumlahnya dan bisa mencapai duapuluhan, malahan bisa lebih. Dengan demikian, muncul pelinggih-pelinggih yang baru untuk memuja para dewa, seperti bangunan tumpang salu bangunan sakapat, tugu, meru, bangunan bebaturan, gedong sari, dan lain-lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, diketahui
bahwa suatu desa terdiri dari beberapa klen atau warga yang
berbeda-beda leluhumya. Untuk mempersatukan klen-klen itu, mereka
sepakat membangun tempat suci bersama, yaitu tiga buah pura yang dikenal
dengan “Kahyangan Tiga”. Di dalam pura-pura itulah mereka
berkumpul saling kenal mengenal dan bersama-sama memuja dewa-dewa yag
bersemayam didalam pura tersebut. Ketiga pura yang dimaksud adalah Pura
Puseh, Pura Desa/Bale Agung dan Pura Dalem.
Kedatangan Mpu Kuturan, Resi Markandya,
dan Dang Hyang Nirartha ke Bali membawa perubahan-perubahan besar dalam
tata keagamaan di pulau ini. Mpu Kuturan menganjurkan pembuatan
Kahyangan Catur Lokapala, Sad Kahyangan Jagat. Selain itu, juga
mengajarkan membuat kahyangan secara fisik dan spiritual, seperti
jenis-jenis upacara, jenis-jenis pedagingan sebagaimana diuraikan dalam
lontar Dewatatwa. Penyempumaan kehidupan agama Hindu di Bali dilakukan
pula oleh Dang Hyang Nirartha. Beliau datang ke Bali pada abad XV pada
masa pemerintahan raja Dalem Waturenggong di Gelgel, Klungkung. Pelinggih ini untuk memuja Hyang Widhi dan sekaligus membedakan pelinggih pemujaan dewa roh leluhur.
Beliau distahanakan, dipuja di banyak pura di Bali sebagai penghormatan
para bhakta selama beliau melakukan dharmayatra, seperti Pura Purancak,
Rambut Siwi, Gading Wani, Srijong, Pekendungan, Tanah Lot, Taman Sari,
Gunung Payung, Pucak Tedung, Sakenan, Erjeruk, Masceti, Goa Gong, Taman
Pule, Dalem Gandamayu, Peti Tenget, Ponjok Batu, Ulu Watu, dan lain-lain
(k.l. 35 pura).
III. KONSEP PURA
Istilah pura dengan pengertian sebagai
tempat suci pemujaan masyarakat Hindu Bali digunakan setelah dinasti
Kresna Kepakisan yang berkeraton di Klungkung sekitar abad XVII. Pada
umumnya pura dibagi atas tiga halaman, yaitu jabaan (halaman luar/kanistha), jaba tengah (halaman tengah/madhya) dan jeroan
(halaman dalam/uttama). Akan tetapi perkecualian tetap ada, di dalam
pura-pura yang kecil sering ditemukan halaman luar dan tengah digabung
menjadi satu, sehingga pura itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu
halaman luar dan halaman dalam. Masing-masing halaman pura dibatasi oleh
tembok keli1ing dengan pintu masuk berbentuk candi bentar yang terletak
antara halaman luar dengan halaman tengah, dan kori agung atau candi
kurung sebagai penghubung halaman tengah dengan halaman dalam.
Menurut konsep Hindu, pura adalah
simbolis gunung. Tuhan, para dewa, dan roh suci leluhur dianggap
bersemayam di puncak gunung, sehingga gunung dipandang sebagai tempat
suci. Konsepsi masyarakat Hindu di Bali tentang alam semesta didasarkan
atas pandangan bahwa alam ini tersusun menjadi tiga bagian yag disebut
triloka, yaitu alam bawah (bhur loka), alam tengah (bwah loka) dan alam atas (swah loka). Dalam diri manusia pandangan itu terwujud ke dalam konsep tri angga, yaitu kaki, badan dan kepala. Demikian pula dalam suatu bangunan suci candi misalnya, bagian-bagiannya terdiri atas dasar, badan dan atap candi. Azas itu tercermin pula pada struktur tempat suci pura yang terdiri atas tiga halaman seperti telah disebutkan di atas.
Halaman luar (jabaan) adalah lambang alam bawah. Alam ini, menurut kepercayaan umat Hindu, dianggap sebagai tempat para bhuta kala,
sehingga halaman ini digunakan sebagai tempat memberi sesajen kepada
makhluk tersebut agar tidak mengganggu manusia. Halaman ini digunakan
untuk mengadakan upacara yang berhubungan dengan makhluk itu, seperti
upacara macaru, dan tabuh rah. Halaman tengah (jaba tengah)
adalah simbolis dari alam tengah, yaitu sebagai tempat tinggal manusia.
Di halaman inilah dilaksanakan aktivitas menyiapkan segala sesajen untuk
kepentingan upacara di pura tersebut. Sementara itu halaman dalam (jeroan) adalah simbolis alam atas sebagai tempat Tuhan, dewa-dewa dan roh suci para leluhur yang telah bersatu dengan Tuhan.
Semua bangunan yang ada di halaman dalam suatu pura, menurut fungsinya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu palinggih dan pasimpangan. Palinggih adalah bangunan yang disediakan untuk bertahta para dewa yang mempunyai kekuasaan langsung dalam pura tersebut, sedangkan pasimpangan
adalah bangunan yang hanya menyediakan tempat singgah bagi para dewa,
yang bertahta di tempat lain, tetapi menjadi pelindung tetap dari pura
itu. Namun demikian, jika dihayati lebih mendalam, sesungguhnya bukan
saja pasimpangan, melainkan palinggih pun dan bahkan
puranya sendiri merupakan tempat singgah belaka dari para dewa.
Dikatakan demikian, karena tempat menetapnya ada1ah di “kahyangan atau
di puncak gunung”. Kedatangannya di pura hanyalah pada saat-saat
tertentu, misalnya pada waktu diadakannya upacara piodalan di pura itu.
Pada saat inilah pura itu penuh dengan”tamu agung” yang terdiri atas
semua para dewa yang ada sangkut pautnya dengan pura tersebut.
Di antara para dewa itu, ada seorang yang boleh dikatakan menjadi penguasa pura yang pada hari piodalan
menjadi tuan rumah. Memang latar belakang pendirian sebuah pura adalah
diperuntukkan bagi seorang dewa tertentu. Oleh karena itu, dalam pura
itu sang dewa dimuliakan secara khusus. Pada hari piodalan di pura tersebut pratima
yang menjadi wakil wadagnya dihias dengan segala macam hiasan
kebesaran, dan diarak dengan segala kemegahan untuk kemudian ditahtakan
di balai pengaruman (balai pesamuan). Di balai inilah para dewa
dan tamunya mengambil tempat untuk turut untuk merayakan hari besar
pura itu, dan bersama tuan rumah menerima penghormatan dan persembahan
dari umat. Upacara piodalan dalam suatu pura bisa berlangsung selama
satu hari, tigahari, satu minggu, bahkan satu bulan. Upacara perayaan
itu pada pokoknya terdiri atas dua macam kegiatan yang harus dilakukan
oleh umat, yaitu mebanten (menyediakan saji-sajian) dan mabakti
(menjalankan persembahyangan). Jika upacara-upacara telah selesai,
para dewa kembali lagi ke persemayaman masing-masing dan pratimanya
diarak kembali ke tempat penyimpanannya.
Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha
dianggap berjasa dalam mengembangkan dan menyempurnakan agama Hindu.
Umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau. Untuk memuja
kebesarannya, beliau dianggap sebagai pendeta guru suci atau dang guru.
Pura Silayukti, Rambut Siwi, Pulaki, Ponjok Batu, Sakenan, dan lain-lain
adalah pura-pura yang berkaitan dengan perjalanan suci (dharmayatra)
yang dilakukan oleh kedua rohaniawan tersebut. Sekarang pura-pura
tersebut menjadi Dang Kahyangan.
Berbagai profesi masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya telah menyebabkan munculnya berbagai tempat
suci atau pura. Para nelayan yang umumnya bermukim di pesisir mencari
penghidupan di laut. Ada yang menjala, mengail, dan lain sebagainya.
Oleh karena laut dianggap bisa memberi kehidupan, kemudian masyarakat
nelayan mendirikan sebuah pura yang disebut Pura Segara atau Pura Pabean.
Demikian pula kelompok masyarakat yang mempunyai profesi sebagai petani
pengolah tanah basah, mereka akan terikat kepada air, yang dianggap
sebagai sumber kehidupannya. Dengan demikian mereka bersatu pula untuk
mendirikan pura-pura yang dekat dengan sumber air. Pura-pura itu disebut
Ulun Danu, Pura Siwi, Pura Bedugul, Pura Masceti, yang berfungsi
sebagai pura kemakmuran. Sementara itu, hal yang sama juga berlaku bagi
mereka yang mernpunyai profesi sebagai pedagang. Ikatan kekaryaan karena
mernpunyai profesi yang sama, yaitu sebagai pedagang, menyebabkan
adanya pemujaan dalam wujud pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya
pura ini didirikan di dalam suatu pasar yang dipuja oleh para pedagang
dalam lingkungan pasar tersebut.
IV. PURA SEBAGAI TEMPAT SUCI
Seperti yang disampaikan diatas Bali
adalah sebuah pulau kecil diantara gugusan pulau yang membangun negeri
kita Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Bali adalah salah satu pulau
dari lebih tiga belas ribu pulau yang membangun bumi Nusantara. Sejak
lama Bali yang kecil mungil ini dikenal masyarakat dunia karena
keunikannya dan hasi kebudayaan yang dimiliki dari jaman dahulu kala
sampai dewasa ini. Bali sering dijuluki sebagai pulau “Seribu Pulau”.
Julukan di atas jelas tak mengada-ada. Berdasarkan karakteristiknya Pura
yang ribuan jumlahnya itu diklasifikasikan menjadi empat kelompok :
- PURA KAYANGAN JAGAT,yaitu Pura umum tempat pemujaan
Hyang Widhi dengan segala prabhawa-Nya serta roh suci leluhur, termasuk
didalamnya Pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan. Yang disebut Pura
Kahyangan Jagat ialah Pura-pura Kahyangan Agung terutama yang terdapat
di delapan penjuru mata angin dan pusat pulau Bali seperti :
- Pura Lempuyang sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Iswara diujung Timur pulau Bali.
- Pura Andakasa sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Brahma terletak di Selatan pulau Bali.
- Pura Batu Karu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Maha Dewa terletak di bagian Barat pulau Bali.
- Pura Ulun Danu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Wisnu terletak di Utara pulau Bali.
- Pura Goa Lawah sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Maheswara terletak di Tenggara pulau Bali.
- Pura Ulu Watu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Rudra terletak di Barat Daya pulau Bali.
- Pura Puncak Mangu sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Sangkara terletak di Barat Laut pulau Bali,
- Pura Besakih sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya sebagai Sambhu terletak di Timur Laut pulau Bali. Disamping merupakan Pura Kahyangan Jagat sthana Dewa Sambhu, Besakih juga menjadi pusat Kahyangan dan bertempat di ”Kadyanikang Bhuana” ditengah-tengah pulau Bali sebagai sthana Hyang Widhi dalam prabhawa-Nya Siwa.
2. PURA KAHYANGAN DESA,
yaitu Pura yang disungsung oleh Desa adat berupa Kahyangan Tiga yakni :
Pura Desa atau Bale Agung tempat memuja Hyang widhi dalam prabhawanya
sebagai Dewa Brahma & Dewi Bhagawati (Utpeti/Pencipta), Pura Puseh
sebagai tempat pemujaan Wisnu sebagai Pemelihara (Sthiti) serta Pura
Dalem tempat pemuja Siwa sebagai Pralina .
3. PURA SWAGINA atau PURA FUNGSIONAL
yakni Pura yang penyiwinya /pemujanya terikat oleh ”Swagina”
(kekaryaan) yang satu yakni memiliki profesi sama dalam sistem mata
pencaharian hidupnya seperti Pura Subak, Dugul, Ulun Suwi, Melanting,
dan sebagainya
4. PURA KAWITAN
yaitu Pura yang Penyiwinya ditentukan oleh ikatan ”Wit” atau asal muasal
atau ikatan leluhur berdassarkan garis keturunan geneologis seperti :
Sanggah/pemerajan, Prthiwi, Ibu/Paibon, Panti, Dadia, Dalem Dadia,
Penataran Dadia, Pedarman dan sejenisnya.
Kepercayaan gunung sebagai tempat suci
atau alam roh leluhur sejalan dengan unsur kebudayaan Hindu yang
menganggap bahwa gunung sebagai alam dewata. Akulturasi dua unsur
kebudayaan tersebut maka timbullah pandangan bahwa Gunung disamping
sebagai tempat roh leluhur juga sebagai alam ”Dewa-Dewa”.Berdasarkan
jalan pikiran yang demikian itu, maka timbullah pengertian bahwa Pura
adalah simbul dari gunung, konsep kesemestaan dalam membangun sebuah
pura, seluruh kompenen pembangunan adalah sebuah wujud persembahan. Pura
juga berarti tempat sujud atau tempat persembahyangan, pura adalah
tempat menghadap kehadapan ”Sanghyang paramaning dumadi” dan juga tempat
memohon wahyu, berkat dan rahmat wara nugraha dari Hyang Widhi oleh
karena Pura adalah tempat suci ia patut dijaga kesuciannya serta
dihormati oleh umat pemeluknya. Agama pada hakekatnya bertujuan untuk
menyucikan umatnya, maka peranan Pura semakin penting sebagai ”Pusat
Rohani”, tempat memuja Hyang Widhi, dan juga sebagai tempat untuk
melaksanakan Dharma Wacana, Dharma Gita, Dharma Tula, Dharma Santhi,
Darma Sedana dan Dharma Yatra.
Seperti yang telah kami kemukakan diatas,
adanya karakterisasi pengelompokan Pura khususnya di Bali bermakna pula
untuk menyatakan umat sesuai dengan pengelompokan sosialnya. Pura
Kawitan merukunkan dan menyatukan umat menurut keluarganya. Pura
Kahyangan Desa , umat menjadi rukun dan damai dalam satu wilayah Desa
Pakraman. Pura Swagina bermakna pula menyatukan umat yang memiliki
kesamaan Profesi. Pura Kahyangan Jagat disamping fungsi utamanya untuk
memuja Hyang Widhi dengan berbagai Prabhawa-Nya, juga menyatukan umat
secara Universal dengan tidak memandang asal keluarga, asal Desanya
maupun asal profesinya.
Jadi demikianlah, sesungguhnya apa yang
disebut Pura memiliki arti dan makna yang sangat dalam. Pura sebagai
tempat Suci, demikian pula seperti Panti, Pemerajan, Pedharman,
Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan dan yang lainnya adalah bagian penting
dari suatu ”Tubuh” masyarakat. Tempat-tempat seperti itu tidak saja
memiliki kedudukan yang penting, tetapi juga memili fungsi yang sentral
bagi dinamika kehidupan masyarakt di maksud, bagi kebudayan dan juga
bagi peradaban masyarakat tersebut.
V. PENGELOMPOKAN PURA
Mengenai istilah Pura yang dipergunakan sebagai tempat pemujaan umat Hindu diperkirakan padsa jaman Dalem berkuasa di Bali.
Sebelum dikenal istilah Pura, untuk menunjukkan tempat pemujaan Hindu
di Bali dikenal istilah Kahyangan atau Hyang. bahkan pada jaman Bali
kuno dipakai istilah “Ulon” yang berarti tempat suci atau tempat yang
dipakai untuk berhubungan dengan ke-Tuhanan. Hal ini dimuat dalam
prasasti sukawana A I (th. 882 M)
Demikian pula prasasti Pura Kehen
menyebutkan istilah Hyang. menurut lontar Usana Dewa Mpu Kuturan lah
yang mengajarkan umat Hindu di Bali membuat Khayangan dewa seperti cara
membuat pemujaan Dewa di Jawa Timur. Mpu Kuturan adalah tokoh Hindu yang
berasal dari Jawa datang ke Bali pada waktu pemerintahan raja Marakata,
dan anak wungsu putra raja Udayana. kedatangan Mpu Kuturan ke Bali
banyak membawa perubahan-perubahan dan tata keagamaan. Mpu Kuturan yang
mengajarkan membuat Sad Khayangan Jagat, beliaulah yang memperbesar Pura
besakih dan mendirikan Pelinggih Meru, Gedong dan lain-lainnya. beliau
pula yang mendirikan Khayangan Tiga di setiap Desa Adat di Bali, selain
beliau mengajarkan secara fisik, juga belia mengajarkan perbuatan secara
spiritual, misalnya : jenis-jenis upacara, jenis-jenis pedagingan
pelinggih dan sebagainnya, seperti diuraikan dalam lontar dewa tatawa.
sebelum Dinasti Dalem memerintah di Bali istana raja disebut kedaton
atau keraton. Setelah jaman Dalem istana Raja disebut “Pura”. Hal ini
disebabkan menurut Negarakertagama menyebutkan bahwa apa yang berlaku di
Majapahit, diperlukan pula di Bali oleh Dinasti Dalem. demikianlah
keraton Dalem di Samprangan disebut lingga rsa pura, keraton Dalem di
Gelgel disebut Sueca Pura dan keraton Dalem di Klungkung disebut
Semarapura. Setelah Dalem berkeraton di Klungkung, istilah pura mulai
dipakai untuk menyebutkan tempat suci pemujaan. sedangkan istana raja
tidak lagi disebut pura tetapi “puri”. Demikianlah istilah pura menjadi
istilah baku sampai sekarang untuk menyebutkan tempat suci.
Di Bali khususnya di dalam orang-orang
mendirikan suatu pura lebih-lebih pura khayangan jagat berlandaskan
konsepsional filosopis yang relevan dengan ajaran Tattwa agama Hindu di
Bali. Dari uraian tersebut di kemukakan tiga landasan konsepsi filosopis
yaitu konsepsi rwa bhineda, konsepsi Catur Loka Pala dan konsepsi Sad
Winayaka, sebagai berikut :
- A. Konsepsi Rwa Bhineda :
Konsepsi ini merupakan kesatuan purusa dan pradana. konsepsi ini melandasi pendirian kahyangan :
- Kahyangan Gunung Agung (Besakih sebagai Purusa)
- Kahyangan Batur sebagai Pradana
- B. Konsepsi Catur Loka Pala :
Konsepsi ini merupakan konkritisasi dari
pada Cadu Sakti, yaitu empat aspek kemahakuasaan Hyang Widhi. konsepsi
inilah yang melandasi pendirian Kahyangan Catur Loka Phala yaitu :
- Pura Lempuyang di timur,
- Pura Andakasa di selatan
- Pura Batu Karu di barat
- Pura Puncak Mangu di utara.
- C. Konsepsi Sad Winayaka :
konsepsi ini adalah landasan pendirian Sad Kahyangan di Bali yang secara konsepsional terkait dengan Sad Kertih, yaitu :
- Pura Besakih
- Pura Lempuyang
- Pura Goa Lawah
- Pura Ulu Watu
- Pura Batu Karu
- Pura Pusering Jagat
Ketiga landasan filosofis inilah yang menjadikan dasar mendirikan kahyangan jagat yang dinamakan Padma Buana sebagai stana dari Hyang Widhi dalam berbagai aspek yang diwujudkan dalam sembilan (9) Kahyangan Jagat yaitu :
- Pura Lempuyang di timur tempat memuja Iswara
- Pura Andakasa di selatan tempat memuja Brahma
- Pura Batu Karu di barat tempat memuja Mahadewa
- Pura Batur di utara tempat memuja Wisnu
- Pura Besakih di timur laut tempat memuja Sambhu
- Pura Goa Lawah di tenggara tempat memuja Maheswara
- Pura Ulu Watu di barat daya tempat memuja Rudra
- Pura Puncak Mangu di barat laut tempat memuja Sangkara
- Pura Pusering Jagat di tengah tempat memuja Siwa
Oleh karena gunung tertinggi atau samudra
(segara-ukir) sebagai persyaratan pendirian kahyangan jagat tidak
terletak di tengah-tengah pulau Bali sebagai pusat pemujaan altar
tersuci Tuhan Siwa, maka dengan pertimbangan ini, maka Dang Hyang
Markendya sebagai seorang yogi yang bijak memindahkan pura pusat
pemujaan Tuhan Siwa ke lereng gunung Agung (Besakih) Gunung yang
tertinggi di Bali, maka Besakih menempati posisi timur laut, juga
menempati posisi tengah Padma Mandala.
Apabila kesembilan (9) kahyangan jagat
ini di letakkan di dalam lukisan padma, maka keadaanya sesuai benar
dengan arah sembilan penjuru dan karenanya sembilan kahyangan jagat ini
disebut juga “Nawa Dikpalaka” yaitu sembilan penjaga penjuru bhuana.
berdasarkan konsepsi padma mandala atau padma bhuana bunga padma dengan
helai daun bunga yang berlapis-lapis, Pura Besakih adalah sari padma
mandala atau padma bhuana sedangkan pura gelap, kiduling kreteg, Ulun
Kulkul, Batu Madeg adalah catur Dala lapisan pertama serta Pura
Lempuyang, Andakasa, Batu Karu, Batur, Goa Lawah, Ulu Watu, Puncak Mangu
adalah Asta Dala (Catur Dala lapisan kedua dalam posisi dik widik).
Pura-pura tersebut diatas adalah pura-pura yang sangat disucikan dan
merupakan satu-kesatuan yang utuh, merupakan pusat kesucian dan
kerahayuan bagi umat Hindu.
LAMPIRAN HIMPUNAN KEPUTUSAN SEMINAR KESATUAN TAFSIR TERHADAP ASPEK-ASPEK AGAMA HINDU
Tentang Padmasana :
- Padmasana adalah lambang makrokosmos / alam semesta yang merupakan Stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Siwa Aditya). Padmasana dapat dibedakan atas :
-
i. Berdasarkan lokasi (menurut pengider-ider), terbagi dalam 9
(sembilan) buah berdasarkan Lontar Wariga Catur Winasa Sari :
- Padma Kencana bertempat di Timur menghadap ke Barat.
- Padmasana bertempat di Selatan menghadap ke Utara.
- Padmasana Sari bertempat di Barat menghadap ke Timur.
- Padmasana Lingga bertempat di Utara menghadap ke Selatan.
- Padma Asta Sedana bertempat di Tenggara menghadap ke Barat Laut.
- Padma Noja bertempat di Barat Daya menghadap ke Timur Laut.
- Padma Karo bertempat di Barat Laut menghadap ke Tenggara
- Padma Saji bertempat di Timur Laut menghadap ke Barat Daya.
- Padma Kurung di Tengah-Tengah me Rong Tiga menghadap ke Lawangan.
- ii.
Berdasarkan atas Rong (Ruang) dan Pepalihannya (tingkatan atau Undag)
dapat dibedakan atas :
- Padmasana Anglayang, Padmasana ini ber – ruang (me-rong) Tiga, mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih Tujuh.
- Padma Agung, Padmasana ini ber-ruang (me-rong) Dua mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih Lima.
- Padmasana, Padamasana ini ber-ruang (me-rong) Satu mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih Lima.
- Padmasari, Padma ini ber-ruang (me-rong) Satu dengan Palih Tiga yaitu Palih Taman (bawah), Palih Sancak (tengah) dan Palih Sari (atas), tidak mempergunakan Bedawang Nala.
- Padmacapah, Padma ini ber-ruang (me-rong) Satu dengan Palih Dua yaitu Palih Taman (bawah) dan Palih Capah (atas), tidak mempergunakan Bedawang Nala.
Catatan : Padmasari
dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai
penghayatan / penyawangan dan mengenai pedagingan kedua Padma ini hanya
pada dasar dan puncak saja. Sedangkan Padmasana yang mempergunakan
Bedawang Nala berisi pedagingan pada Dasar Madhya (tengah) dan Puncak.
- Tatacara pembuatan Padmasana berdasarkan Lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta Bhumi.
- Upakara / Upacara termasuk pependeman dan pedagingan berdasarkan Lontar Dewa Tatúa, Lontar Wariga Catur Winasa Sari, Lontar Usana Dewa dan Lontar Dewa Tatúa.
Tentang Rong Tiga :
- Rong Tiga adalah Pelinggih Tri Murti ¿ Hyang Kemimitan / Hyang Kemulan berdasarkan Lontar Purwa Gama Sesana, Lontar Kusuma Dewa, Lontar Gong Wesi.
- Tatacara pembuatan Rong Tiga berdasarkan atas Lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta Bhumi.
- Upakara / Upacara termasuk pependeman dan pedagingan berdasarkan Lontar Dewa Tattwa, Lontar Wariga Catur Winasa Sari, Lontar Usana Dewa, Lontar Widhi Tattwa dan terutama Lontar Resuma Dewa.
Tentang Meru :
- Meru adalah melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan Sthana / Pelinggih Dewa-Dewi, Bhatara-Bhatari Leluhur berdasarkan Lontar Purana Dewa, Lontar Resuma Dewa, Lontar Widhi Sastra, Lontar Wariga Catur Winasa Sari dan Lontar Jaya Purana. Landasan filosofis dari meru adalah berlatar belakang pada kepercayaan terhadap gunung yang disucikan sebagai sthana para dewa dan roh leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung yang suci tersebut disymbolkan / nyasa berbentuk replika (tiruan) bangunan yang disebut dengan candi, prasada, meru. Bentuk Meru dapat dibedakan sebagai berikut :
- i. Ciri Umum :
- Dapat dibedakan dari Dasar, Badan, Atap
- Bangunan Dasarnya Segi Empat
- ii. Ciri Khusus :
- Ada jenis Meru yang badannya berbentuk ruangan yang dapat dipergunakan untuk tempat sembahyang, dan ada pula Meru yang badannya berbentuk ‘banyah’ yang ruangannya tidak dapat dimasuki sebagai tempat sembahyang.
- Atap Meru bertumpang dan sebanyak-bayaknya tumpang sebelas.
- Arti susunan atap Meru yang pada umumnya ganjil sebagai lambang /
symbol / nyasa ‘patalaning bhuwana dan pangalukuan dasaksara’, seperti :
- Meru tumpang satu
- Meru Tumpang dua
- Meru Tumpang tiga
- Meru Tumpang lima
- Meru Tumpang tujuh
- Meru Tumpang sembilan
- Meru Tumpang sebelas
Meru tumpang satu sampai dengan meru
tumpang tiga berpedagingan pada dasar dan puncak, sedang meru tumpang
lima sampai dengan meru tumpang sebelas berpedagingan pada dasar, madhya
dan puncak.
- Fungsi Meru :
- i. Tempat pemujaan Istadewata seperti Meru di Kiduling Kreteg Besakih tempat pemujaan Dewa Brahma, dan di Pura Batu Madeg Besakih tempat pemujaan Dewa Wisnu dsb.
- ii. Tempat pemujaan Bhtara-Bhatari seperti pada Padharman-Padharman di Komplek Pura Besakih dsb.
- Tatacara pembuatan Meru berdasarkan Lontar Asta Kosala-Kosali dan Astha Bhumi, untuk membedakan jenis Meru pemujaan Istadewata dan Bhatara-Bhatari antara lain :
- i. Dari segi Pedagingan
- ii. Dari segi Puja / Stawa
- Upakara / Upacara termasuk pependeman dan pedagingan berdasarkan Lontar Dewa Tattwa, Lontar Wariga Catur Winasa Sari, Lontar Usana Dewa, Lontar Widhi Tattwa dan terutama Lontar Resuma Dewa.
Tentang Pengertian Pelinggih :
Pelinggih adalah tempat
sthana Ida Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi-NYA yang dibuat
sesuai dengan Lontar Asta Dewa dan Lontar Asta Kosala-Kosali serta telah
disangaskara.
Padmasana di Pura Penataran Agung Besakih :
- Sesuai dengan Lontar Padma Bhuwana, pengertian Padma tersebut adalah :
- Namanya : Padma Bhuwana
- Bentuk Bangunan : Padamasana Tri Tunggal (Tiga bangunan Padmasana dengan Dasar Tunggal)
- Yang di Lingga Sthanakan : adalah Sang Hyang Tiga Wisesa (Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa)
- Di Tengah Lingga Sthana Ida Sang Hyang Parama Siwa
- Di Kanannya Lingga Sthana Sang Hyang Sada Siwa
- Di Kirinya Lingga Sthana Sang Hyang Siwa
- Fungsinya : Penyungsungan Jagad.
Pura Desa :
- Letaknya : Pada tempat yang dipandang suci oleh Krama Desa yang bersangkutan, sebaiknya di tengah-tengah Desa.
- Jajaran Pelinggih :
- Gedong Lingga Sthana Dewa Brama
- Pelinggih Ratu Ketut Petung
- Lingga Sthana Sedahan Penglurah (Tepas Mecaling)
- Padmasana Lingga Sthana Ida Sang Hyang Widhi
- Bale Agung Lingga Sthana Begawan Penyarikan / Bagawati
- Gedong / Bebaturan (Panghulun Bale Agung) Sthana Bhatari Rambut Sedana (Melanting)
Pura Puseh :
- Letaknya sama dengan Pura Desa
- Jajaran Pelinggih :
- Meru Tumpang 7 Lingga Sthana Dewa Wisnu
- Lingga Sthana Ratu Made Jelawung
- Lingga Sthana Sedahan Penglurah (Tepas Mecaling)
- Padmasana Lingga Sthana Ida Sang Hyang Widhi
- Batur Sari Lingga Sthana Dewi Danuh
- Gedong Lingga Sthana Ibu Pertiwi (Naga Ananta Bhoga)
Pura Dalem :
- Letaknya : Sebaiknya di Teben Desa berdekatan dengan Setra.
- Jajaran Pelinggih :
- Gedong Lingga Sthana Dewi Durgha (Sakti Siwa)
- Lingga Sthana Ratu Nyoman Sakti Pengadangan
- Lingga Sthana Sedahan Penglurah (Tepas Mecaling)
- Bedogol Lingga Sthana Sang Bhuta Diyu (Apit Lawang)
- Bedogol Lingga Sthana Sang Bhuta Garwa (Apit Lawang)
- Pada Panghulun Setra dibangun Pelinggih Prajapati, berbentuk Padma dan sebuah bebaturan Linggih Sedahan Setra
Pemerajan / Sanggah :
- Letaknya di hulu pekarangan rumah
- Jajaran pelinggih :
- Kemulan Rong Tiga Linggih Hyang Guru Kemulan / Tri Murti / Leluhur
- Linggih Sedahan Penglurah
- Gedong Linggih Taksu
Catatan :
Pura Desa dan Pura Puseh apabila digabung dalam satu pelebahan Pura dengan catatan :
- Jajaran Pelinggih Pura Desa dan Pelinggih Pura Puseh sama terletak di hulu
- Padmasana hanya dibangun satu buah
- Meru minimal dibangun yang bertumpang tiga
- Jajaran Pelinggih Pura Desa dan Pura Puseh digabung dalam satu Pelebahan Pura :
- Gedong Lingga Sthana Dewa Brama
- Lingga Sthana Ratu Ketut Petung
- Lingga Sthana Sedahan Penglurah
- Padmasana Lingga Sthana Ida Sang Hyang Widhi
- Lingga Sthana Dewi Danuh
- Lingga Sthana Tepas Mecaling
- Meru Lingga Sthana Dewa Wisnu (sekurang-kurangnya meru tumpang tiga)
- Lingga Sthana Ratu Made Jelawung
- Linggih Sthana Ibu Pertiwi (Naga Ananta Bhoga)
- Gedong Bebaturan (Panghulun Bale Agung) Lingga Sthana Dewi Sri Rambut Sedana (Melanting)
- Bale Agung Lingga Sthana Bhagawan Penyarikan / Dewi Bhagawati.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Astra, Semadi, I Gde, 1977. Birokrasi
Pemerintahan Bali Kuno Abad XII-XIII : Sebuah Kajian Epigraphis.
Disertasi, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Ardana, I Gusti Gde, dkk. 1983. Inventarisasi Aspek-Aspek Nilai Budaya Bali, Denpasar : Proyek Bantuan Sosial.
Ginarsa, Ketut, 1985. Adanya Tempat-Tempat Suci di Bali. Bali Post, hal. IV, Tanggal 4 September.
Soma, Dewa Ketut, 1999. Pura Gelap, Catur Dala Pura Agung Besakih. Parisadha Hindu Dharma Indonesia Kab. Klungkung.
Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, 2001. Kajian Alih Aksara Dan Alih Bahasa Lontar Panugrahan Dalem.
Setiawan, I Ketut, Maret 2002. Menelusuri
Asal-Usul Tempat Suci Di Bali Dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya
Budaya. Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
DENAH PAMERAJAN
Keterangan Denah :- Kemulan Rong Tiga Linggih Hyang Guru Kemulan / Tri Murti / Leluhur
- Linggih Sedahan Penglurah
- Gedong Linggih Taksu
Keterangan Denah :
- Gedong Bata Lingga Stana Dewa Brahma
- Pelinggih Ratu Ketut Petung
- Lingga Stana Sedahan Penglurah (tepas mecaling)
- Padmasana Lingga Stana Ida Sang Hyang Widhi
- Bale Agung Lingga Stana Begawan Penyarikan
- Gedong/Bebaturan (hulun Bale Agung) Lingga Stana Bhetari Sedana (Melanting)
Keterangan denah :
- Meru (Tumpang 7) Lingga Stana Dewa Wisnu
- Lingga Stana Ratu Made Jelawung
- Lingga Stana Sedahan Penglurah (tepas mecaling)
- Padmasana Lingga Stana Ida Sang Hyang Widhi
- Batur Sari Lingga Stana Dewi Danuh
- Gedong Lingga Stana Ibu Pertiwi (Ananta Boga)
Keterangan Denah :
- Gedong Bata : Lingga Stana Dewi Durgha (Cakti Ciwa)
- Lingga Stana Ratu Nyoman Sakti Pengadangan
- Lingga Stana Sedhana Penglurah (Tepas Mecaling)
- Bedogol (Apit Lawang) Lingga Stana Sang Bhuta Diyu
- Bedogol (Apit Lawang) Lingga Stana Sang Bhuta Garwa
Keterangan Denah :
- Padma
- Bebaturan
Keterangan Denah :
- Gedong Lingga Stana Dewa Brahma
- Lingga Stana Ratu Ketut Petung
- Lingga Stana Sedahan penglurah
- Padmasana Lingga Stana Ida Sang Hyang widhi
- Lingga Stana dewi Danuh
- Lingga Stana Tepas Mecaling
- Meru (sekurang-kurangnya tumpang 3) Lingga Stana Dewa Wisnu
- Lingga Stana ratu Made Jelawung
- Linggih Stana Ibu Pertiwi (Ananta Bhoga)
- Gedong Bebaturan (hulun Bale Agung) Lingga Stana Dewi Cri Sedana
- Bale Agung Lingga Stana Begawan Penyarikan
Komentar
Posting Komentar